Sudah sejak lama, konsep pendidikan kita menitik-beratkan pada tiga hal; kognitif, afektif, dan psikomotorik. Artinya, tiga hal tersebut setidaknya menjadi acuan dalam proses pendidikan Indonesia. Kecerdasan otak, sikap dan karakter yang baik, serta kemampuan motorik adalah bagian penting yang harus di capai dalam pendidikan. Tidak bisa hanya fokus pada kemampuan kognisi saja sementara anak didik haus secara afektif (perilaku dan moral). Fenomena seperti ini banyak dijumpai di negeri ini, dimana koruptor bergentayangan dengan kepintaran, tapi lemah secara moral.
Artinya, harus ada integrative skill (kemampuan integratif) yang dimiliki oleh seseorang, bahwa ia boleh saja pintar dan cerdas, tapi harus bermoral pada saat yang bersamaan. Tak bisa pula hanya mengandalkan perilaku semata dan acuh pada kemampuan untuk memperkaya diri secara intelektual.
Kalau konsep itu kita tarik masuk dalam konteks Pilkada (mencari pemimpin yang ideal), untuk dijadikan sebuah analogi, maka kognisi diibaratkan kerja dan prestasi sementara afeksi tetap menjadi moral dan perilaku yang baik. Artinya, kita mesti mencari pemimpin yang bagus secara kognisi sehingga melahirkan kerja dan prestasi sekaligus mempunyai perilaku dan karakter serta moral yang baik pada saat bersamaan.
Sayangnya, sebuah anomali terjadi untuk sosok calon petahana dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017: Ahok. Mesyarakat begitu “mendewakan” pembangunan, kesuksesan, serta prestasi yang dicapai, dan melupakan sosoknya yang secara karakter sarkas, kasar, dan arogan. Lalu secara “manis” itu diungkapkan menjadi sebuah diktum, “buat apa seorang yang sopan dan santun, tapi korupsi dan tidak bekerja”. Kalimat yang agakaneh, tapi biarlah nanti kita tuliskan, di bagian akhir.
Harusnya, pemimpin itu menjadi contoh yang baik bagi yang dipimpinnya, bukan justeru menjadi penyebab dan biang dari munculnya konflik serta friksi pada tataran masyarakat bawah. Itulah yang justru yang ditampilkan Ahok, sehingga menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri ketika karakter Ahok yang tidak terkontrol secara emosional diacuhkan karena kinerja dan kerja yang begitu diagungkan oleh para pembela dan pemujanya.
Banyak hal yang mungkin dicapai, tapi menjadi “bias” ketika disajikan fakta, bahwa banyak kesakitan-kesakitan psikis yang diderita oleh warga Jakarta, terutama bagi mereka yang secara langsung pernah menjadi korban dari sarkasme dan arogansi Ahok sebagai gubernur. Banyak yang menyayangkan hal itu, tapi sayang hanya menjadi sayang, karena Ahok tetap dibela sedemikian rupa, seperti sosok makhluk tanpa cela, padahal banyak hal yang telah ia nista, dan penistaan terhadap agama menjadi babak baru dari “keliaran” karakternya.
Ahok kemudian dianggap sebagai sosok anti korupsi yang menyelamatkan anggaran dari begal-begal anggaran di DPRD, satu peristiwa yang kemudian diviralkan sedemikian rupa, melupakan bahwa nama Ahok juga sering disangkut-pautkan dengan kasus Sumber Waras, Reklamasi, dan pembelian beberapa lahan yang terbukti “tidak prosedural” dan banyak menabrak undang-undang, termasuk penggusuran Kalijodo yang melabrak perda yang dibikinnya sendiri. Kalau kita percaya seseorang itu anti korupsi, maka seharusnya “kesucian” itu bisa dimanifestasikan melalui kebersihannya dari segala hal yang berbau koruptif. Kalau namanya sering disangkut-pautkan dengan beberapa kasus (banyak orang mencurigai dan mempercayai itu), maka kebersihannya perlu dipertanyakan.
Akhirnya, tulisan ini hanya ingin memberikan pemahaman kembali kepada kita semua, para pembaca, bahwa tak bisa kita memilih pemimpin yang cacat secara moral, meski dalam konteks tertentu ia dikatakan sebagai orang yang berprestasi dan bekerja dengan pencapaian yang begitu “didewakan”. Kenapa? Karena efek dari perilaku sarkas, arogan, dan kasar dari seorang pemimpin itu mempunyai dampak luas dan berbahaya, terutama bagi generasi penerus bangsa ini.
Banyak orang sopan tapi korupsi, dan banyak juga orang tidak korupsi tapi mempunyai karakter “kejam”. Keduanya sama-sama tidak baik untuk dijadikan pemimpin. Percayalah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI