Dalam hiruk pikuk dunia politik, kita sering kali mendengar para pejabat publik melontarkan berbagai pernyataan. Salah satu frasa yang seringkali muncul dan memicu kontroversi adalah "rakyat jelata". Penggunaan kata ini, meski terlihat sederhana, menyimpan makna yang jauh lebih dalam dan berpotensi merusak tatanan demokrasi.
Mengapa "Rakyat Jelata" Bermasalah?
- Konotasi Negatif: Kata "jelata" secara historis dikaitkan dengan kelas sosial terendah, yang hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Penggunaan kata ini menciptakan jarak antara penguasa dan rakyat, seolah-olah ada hierarki yang membenarkan perlakuan tidak adil.
- Merendahkan Martabat: Setiap warga negara memiliki martabat yang sama. Dengan menyebut rakyat sebagai "jelata", pejabat publik secara tidak langsung merendahkan martabat dan hak-hak rakyat.
- Menabur Perpecahan: Penggunaan bahasa yang diskriminatif dapat memicu perpecahan di tengah masyarakat. Rakyat akan merasa tidak dihargai dan tidak memiliki suara dalam pemerintahan.
- Bertentangan dengan Demokrasi: Demokrasi menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Penggunaan kata "rakyat jelata" bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Apa yang Harus Dilakukan?
- Gunakan Bahasa yang Inklusif: Pejabat publik harus menggunakan bahasa yang santun, sopan, dan menghormati semua kalangan. Kata-kata seperti "rakyat", "masyarakat", atau "warga" lebih tepat digunakan.
- Tingkatkan Empati: Pejabat publik perlu memiliki empati yang tinggi terhadap kondisi masyarakat. Dengan memahami kesulitan yang dihadapi rakyat, mereka akan lebih bijaksana dalam memilih kata-kata.
- Bertanggung Jawab: Jika telah melakukan kesalahan dalam penggunaan bahasa, pejabat publik harus berani mengakui dan meminta maaf.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!