Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pribumi berarti penghuni asli yang berasal dari tempat bersangkutan. Secara terminologis Pribumi atau penduduk asli adalah orang yang lahir di suatau tempat (wilayah atau negara) dan menetap di tempat tersebut dengan status keorisinalnya terjaga sebagai sebuah kelompok etnis yang diakui sebagai suku asli dari tempat tersebut, dan bukan pendatang dari negeri lainnya, dan secara khusus dikatakan bahwa secara turun-temurun orang tua yang melahirkan anak tersebut juga lahir di tempat (wilayah atau negara) itu juga.
Permasalahan pribumi dan non pribumi kembali mencuat, dari pakar hingga masyarakat awam kembali membahas topik ini yang memang jika tidak disikapi dengan arif dan bijkasana akan berdampak pada timbulnya konflik horizontal yang kini mulai dikhawatirkan. Persoalan ini memang bukanlah persoalan yang main-main, sebab jika konflik horizontal terjadi, maka jerih payah para pendiri bangsa yang ingin menyatukan semua masyarakat di Indonesia sedikit dikecewakan, sila ke 3 yang berisi “Persatuan Indonesia” sedikit kita coreng, dan Bhineka Tunggal Ika seperti kita “nodai”. Semoga hal ini terhindar dari negara Kita!!!
Sejak dahulu, Indonesia merupakan negara majemuk. Sebagai refleksi, agaknya perlu mengingat lagi bahwa hal itu terjadi karena Indonesia merupakan tempat persinggahan para pedagang yang ingin berdagang ke barat ataupun ke timur, hal ini semakin didukung dengan letak geografis Indonesia yang berada di antara dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sehingga peluang untuk masuknya orang-orang pendatang lebih besar, begitu juga dengan percampuran budayanya.
Sebenarnya dari mana muncul kata “pribumi” itu? sebagai pengingat, barangkali bagi sebahagian dari kita ada yang lupa, kata pribumi sangat identik dengan masa Kolonial Hindia-Belanda. Menurut Furnival, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam suatu kesatuan politik. Sangat jelas memang pada masa Hindia-Belanda, Indonesia belum satu komando, apa lagii komandonya dipegang penduduk asli. Kesatuan hanya terjadi di tingkat daerah dengan jangkauan kecil, bukan dengan jangkauan yang luas.
Pada masa Pemerintahan Kolonial, seluruh wilayah Hindia Belanda memang berada pada satu komando, tetapi bukan masyarakat asli yang mengkomandoi, melainkan orang Belanda sendiri. Jika diperhatikan, konsep pribumi dan non pribumi mulai ada sejak abad ke-19. Konsep ini digolongkan pada struktur pembagian masyarakat menurut hukum Belanda yang berlaku pada saat itu. dalam struktur pembagian masyarakat tersebut, Orang Eropa adalah golongan pertama, Orang Timur Asing (India, Cina, Arab) menempati golongan kedua, dan terakhir Orang Pribumi ditempatkan pada golongan ke tiga. Disinilah muncul sebutan golongan pribumi dan non pribumi, dimana ketika orang Indonesia menjadi tidak terhormat dikampung sendiri.
Konsep pembagian struktur masyarakat ini seiring perjalanannya mulai tidak diberlakukan lagi terutama dikalangan masyarakat sendiri. Hal ini kemudian dikarenakan sebahagian orang-orang dari kasta pertama dan kedua tidak menganggap orang Pribumi sebagai kasta terendah., pembagian struktur masyarakat ini mulai luntur ketika perasaan senasib mulai muncul didalam diri golongan kedua, dan perasaan “kasihan” juga timbul pada sebahagian dari diri golongan pertama.
Tercatat ada beberapa tokoh dari golongan pertama yang kemudian “Membelot” dari hirarkinya, begitu juga pada golongan kedua yang kemudian mengambil andil dalam proses kemerdekaan Republik ini. sebut saja E.F.E Douwes Dekker, Rokus Bernadus Visser (Mochammad Idjon Djanbi), Oei Tjang Tjoi, Oei Tjongg Hauw, Liem Koen Hian, A. Baswedan, P.F. Dahler (Orang “Non Pribumi” yang menjadi anggota BPUPKI).
Dewasa ini, konsep-konsep yang dulu berlaku pada masa Hindia Belanda ternyata tidak luntur begitu saja. pada sebahagian orang mungkin saja masih menganggap hal itu masih berlaku, katakan saja beberapa kejadian yang menjadi contoh nyata mengenai Pribumi dan Non Pribumi yang terjadi dalam bulan ini. kiranya kita perlu mendewasakan diri demi menjaga keutuhan dan memilihara persatuan yang sudah ada sejak 17 Agustus 1945.
Mengenai beberapa peraturan yang menguatkan tentang orang-orang pribumi, sepertnya juga tidak bisa disalahkan mengingat alasan yang diberikan adalah dikhawatirkan terulangnya kembali konsep golongan masyarakat yang terjadi pada masa Hindia Belanda dan juga perlu adanya pembuktian bahwasanya Bangsa Indonesia mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi Tampaknya saya perlu meminjam kata-kata James B. Donovan yang diperankan oleh Tom Hanks dalam film Bridge of Spies “Aku Orang Irlandia, Kau Orang Jerman, tapi apa yang menjadikan kita berdua orang Amerika? Cukup satu hal, dan hanya satu. Buku Peraturan”.
Kiranya kata-kata dari seorang negosiator ulung yang pernah dipakai Presiden Amerika J.F. Kenedy pada saat itu bisa kita jadikan sebagai sebuah inspirasi baru dalam mempelajari bagaimana kedewasaan dalam berbangsa dan bernegara. Jika kita ganti kata-kata tersebut menjadi “Saya Orang Pribumi, dan Anda Adalah Orang Non Pribumi, lalu apa yang menjadikan kita orang Indonesia? Jawabannya hanya satu, Cuma satu... yakni PANCASILA. Jadi, sudah seharusnya kita saling menjaga persatuan dan memelihara kesatuan negara yang sama-sama kita cintai ini, karena jika seandainya kita tidak bersatu, bukan hanya saya yang kalah, tetapi anda juga kalah, dan jika saya dan anda bersatu dan menjadi kita maka kita akan berjuang bersama untuk merebut kemenangan tersebut, yakni sebuah kemerdekaan. (Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan 1945).
Pustaka: