Mohon tunggu...
Rizky Lubis
Rizky Lubis Mohon Tunggu... -

Bukan Seorang Pengamat ataupun pakar, tapi hanya seorang Sejarahwan muda yang mencintai sejarah bangsanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renggangnya Cita-cita Masyarakat Madani dan Cara Mempereratnya

12 April 2017   00:56 Diperbarui: 12 April 2017   11:00 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia merupakan sebuah negara yang dimana didalamnya hidup masyarakat dari berbagai kepercayaan, suku, maupun agama. Keberagaman ini tidak lepas dari posisi Indonesia yang terletak di dua samudera, yakni Samudera Hindia dan juga Samudera Pasifik. Kondisi geografis ini sangat mempengaruhi keberagaman tersebut dikarenakan Nusantara (Indonesia) pada saat itu menjadi tempat singgah para pedagang yang berada di wilayah barat yang ingin menuju ke wilayah timur, dan begitu juga sebaliknya. Persinggahan yang dimaksud bukanlah persinggahan yang singkat, para pedagang yang singgah biasanya menunggu tiupan angin yang mengarah ke timur selama berbulan-bulan. Maklum saja, pada saat itu kapal canggih seperti sekarang yang menggunakan mesin berteknologi tinggi belum tercipat, waktu yang lama tersebut kemudian dimanfaatkan para pedagang untuk mengisi perbekalan mereka ataupun berjualan di dermaga yang sedang mereka singgahi. Lebih dari itu, bahkan beberapa dari mereka ada yang menikahi masyarakat sekitar, dan disinilah percampuran dan keberagaman itu terjadi. Wilayah yang awalnya dihuni oleh satu etnis/ suku saja kemudian berkembang menjadi beberapa suku ataupun orang luar penduduk asli, mula-mula India, Cina, Timur Tengah, dan Eropa. Tidak hanya itu, percampuran juga terjadi pada sesama penduduk asli.

Keberagaman juga terjadi pada sistem kepercayaan yang ada di Indonesia, mula-mula kepercayaan terhadap Animisme, kemudian mulai mengenal agama Hindu, kemudian agama Budha, Kemudian agama Islam, kemudian agama Keristen, lalu agama ataupun kepercayaan lainnya. Masuknya agama ataupun kepercayaan tersebut mampu diterima oleh masyarakat luas meskipun beberapa diantaranya tetap mempertahankan budaya-budaya luhur ataupun menggabungkan keduanya. Sejak dahulu, masyarakat Indonesia sangat taat pada ajaran agama yang dianutnya dan juga menerapkan ajaran agama pada setiap sendi-sendi kehidupan karena memang sebagai seorang penganut kita membutuhkan hal tersebut agar kita bisa selamat dunia-akhirat.

Lalu, apakah masyarakat Indonesia bisa memisahkan antara agama dengan kehidupan sehari-hari? (Pertanyaan ini mulai muncul dikepala penulis saat orang-orang dengan hangatnya memperbincangkan “Memisahkan persoalan politik dan agama” yang dikutip dari pidato Pak Presiden tanggal 24/3/2017. Jika diperhatikan secara kontekstual/ situasional, hal tersebut bertujuan untuk semakin mempererat keberagaman di Indonesia yang dilihat dari ciri struktur masyarakat Indonesia secara Horizontal, sungguh keputusan yang sangat bijak sana.

Jika dipandang dari aspek tertulis, hal tersebut ternyata sedikit tidak sejalan dengan Pembukaan UUD 1945, Sila Pertama Pancasila, serta Pasal 28 E (1,2), Pasal 28 I (1). Pada Pembukaan UUD 1945 di alinea ke IV jelas di sebutkan bahwa “terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab...” (Kutipan), begitu juga dengan Pancasila yang memang terdapat pada alinea ke IV tersebut. Sangat jelas tergambar bahwa para pendiri bangsa pada saat itu sudah paham betul bahwa sejak dahulu masyarakat Indonesia selalu menghadirkan sang pencipta dalam setiap kehidupannya.

Sebagai sebuah refleksi, perselisihan kecil pernah terjadi pada Sidang PPKI tertanggal 18 Agustus 1945, dimana Mr. A.A. Maramis mengajukan untuk mengganti kata-kata “Menjalankan Syariat Islam” Pada Sila pertama.(piagam Jakarta) dan dengan musyawarah mufakat hal tersebut diterima, dan kemudian berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa (Pembukaan UUD dan Pancasila). Hal ini semakin jelas bahwa masyarakat Indonesia tidak ingin jauh-jauh kepada sang pencipta dan selalu menghadirkan sang pencipta disegala aktifitasnya, apapun itu. Jika pemisahan benar-benar dilakukan masyarakat, posisi sila serta makna otomatis juga berubah, katakan saja Sila ke 1 harus bertukar posisi ke posisi 2 dan posisi 3 harus ke posisi 1.

Lebih rinci lagi, pada pasa 28 E ayat 1, jelas disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta kembali. Hal ini diperkuat juga dengan pasal 28 E ayat 2 yang berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, kemudian pada pasal 28 I ayat 1 diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.

Sebagai negara yang mengakui ketuhanan, yang dimana masyarakatnya juga mengakui dan menjalankan konsep ketuhanan itu, maka sudah sepantasnyalah sebagai masyarakat yang memiliki kepercayaan menjalankan semua ajaran-ajaran yang diperintahkan oleh agamanya baik dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara terlebih kita sudah meyakini dan mempercayai bahwa ajaran kepercayaan/ agama yang kita anut adalah benar. Meskipun demikian, hal-hal tersebut tetap dalam batasan dan diatur dengan pasal lainnnya dalam UUD 1945, seperti Pasal 28 J Ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia,. Dalam menuju Masyarakat Madani di Indonesia, beberapa poin untuk menuju ke Masyarakat Madani belum sepenuhnya berjalan Saling memahami, Saling mengerti, saling bertoleransi, Saling mengingatkan dan Saling mendukung masih terhambat. Terlebih lagi masyarakat sering mengutamakan haknya daripada kewajiban yang harus dijalankan. Kebudayaan madani adalah kebudayaan demokratis yang bersatu di dalam keberagaman dan beragam dalam kebersatuan. Disamping beberapa poin yang tidak berjalan dengan baik, beberapa faktor yang menghambat berkembangnya kebudayaan madani dimasyarakat masih sangat besar seperti Saling curiga, Diskriminasi, Saling tidak percaya dan Sifat masyarakat yang masih tertutup. Hal-hal inilah sebenarnya yang bisa menimbulkan konflik horizontal. 

Meskipun demikian, kita patut optimis bahwa Indonesia nantinya akan “kembali berhasil” mencapai cita-cita Kebudayaan Madani, dimana seluruh masyarakatnya menerima keadilan yang layak, kehidupan yang aman dan damai dan juga seluruh masyarakatnya bersatu dengan menghormati hak dan menjalankan kewajibannya didalam berbangsa dan bernegara. Salam damai untuk Indonesiaku. Maju Terus...!!!

Pustaka:

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.

Tantawi, Isma, Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia. Medan: Yayasan Al-Hayat, 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun