Perkembangan umat Katholik di wilayah Gantiwarno tidak dapat dipisahkan dari perkembangan umat Katholik di wilayah kabupaten Klaten pada umumnya dan di Paroki Santa Perawan Maria Bunda Kristus Wedi pada khususnya. Perkembangan umat Katholik di wilayah Kabupaten Klaten dirintis oleh Pastor Van Lith.Â
Pada tahun 1909 Pastor Van Lith mulai mewartakan iman Katholik di Klaten dengan mencari murid untuk Kweek Scoll di Muntilan. Pada mulanya Pastor Van Lith benkunjung ke sekolah dasar Ngepos, satu-satunya sekolah dasar yang ada di wilayah Kabupaten Klaten. Pada saat itu ada beberapa murid yang menyambut baik tawaran pastor Van Lith untuk melanjutkan sekolah di Kwek Scoll Muntilan. Selain mencari murid, pastor Van Lith kemudian juga melaksanakan pelajaran magang babtis dan misa suci.
Pada tahun 1910 sudah ada banyak umat Katholik di wilayah Klaten, dan dalam struktur penggembalaan gereja wilayah Klaten masuk Paroki Ambarawa. Pada tahun 1912 umat Katholik di wilayah Klaten membangun kapel di Kauman, Tonggalan. Umat dibimbing oleh Pastor H. van Driesche. S.J (Muntilan) dan Pastor C. Stiphout, SJ. (Ambarawa). Tahun 1918 wilayah Klaten masuk Paroki Purbayan Surakarta. Tahun 1921 umat Katholik di wilayah Klaten membangun gereja di Sidowayah, Klaten. Pada tahun 1922 gereja Katholik di wilayah Klaten berdiri menjadi Stasi Klaten.
Pada tahun 1923 status Gereja Klaten berubah menjadi paroki dengan pastur paroki Pastor Lukas, SJ. Cakupan wilayah Paroki Klaten meliputi juga wilayah Wedi. Berkat perkembangan umat di wilayah Wedi maka umat Katholik di wilayah Wedi mendapat perhatian khusus dari Gereja Paroki KLaten dengan mendapat bimbingan pengembangan iman secara khusus dari Pastor Lukas, SJ dan Pastor Joma, SJ. Karya pastoral kedua pastor tersebut dibantu oleh Bei Sutopanitro, Tjokroatmojo, Karsowiharjo, dan Wirowiharjo.
Pada tahun 1933 umat Katholik di wilayah Wedi membangun gereja dan pembangunan tersebut selesai pada tahun 1935. Pada masa penggembalaan Pastur D. Harjosuwondo, S.J umat Katholik di gereja Wedi mendapat bimbingan khusus sehingga setiap hari diadakan misa. Untuk pendampingan iman umat di wilayah sekitar gereja wedi dibentuk reksawandawan (kelompok pembinaaan) dan salah satunya adalah reksawandawan Gantiwarno. Pada tahun 1948 gereja wedi diresmikan menjadi paroki dengan pastor paroki Romo Tjokrowardoyo, PR.
Seiring dengan perubahan status gereja Wedi menjadi Paroki maka kegiatan pelajaran agama Katholik (magang babtis) di wilayah Paroki Wedi menjadi tanggungjawab para romo yang berkarya di Paroki Wedi. Semua reksawandawan yang ada di wilayah Paroki Wedi, termasuk reksawandawan Gantiwarno mendapat kunjungan rutin dari para romo yang berkarya di Paroki Wedi.
Kegiatan pelajaran agama Katholik di reksawandawan Gantiwarno diadakan di rumah salah seorang warga di Desa Jabung. Kegiatan pelajaran agama tersebut diikuti oleh warga dari beberapa desa yang ada disekitar kota kecamatan Gantiwarno, antara lain desa Jabung, desa Gesikan, desa Ceporan, dan desa Towangsan.
Pada tahun 1960 hingga tahun 1967, seiring dengan memanasnya suhu politik nasional akibat konflik antara pengikut partai komunis (PKI) dengan pengikut partai nasionalis/agama maka jumlah peserta pelajaran magang babtis di reksawandawan Gantiwarno meningkat pesat.
Selain melakukan kegiatan pelajaran magang babtis, para pemuda Katholik dari wilayah Gantiwarno yang sedang menimba ilmu di sekolah/perguruan tinggi Katholik, seperti Kolese de Brito dan Universitas Sanata Darma mengadakan kegiatan latihan bela diri dengan nama Perisai Diri. Kegiatan tersebut diikuti oleh banyak anak muda di wilayah Gantiwarno. Salah satu tokoh pemuda yang mendidik pelajaran bela diri tersebut adalah Salbiono seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang berasal dari dukuh Bayanan, desa Gesikan.
Pada tahun 1967 Gereja Paroki Wedi mengadakan penataan struktur organisasi. Istilah reksawandawan dihilangkan dan diganti dengan istilah wilayah (pada saat ini berubah menjadi lingkungan), dan reksawandawan Gantiwarno dipecah menjadi beberapa wilayah yaitu wilayah Jabung, wilayah Ceporan, wilayah Towangsan, wilayah Mlese dan wilayah Tosadu.
Meskipun secara organisasi, keempat wilayah tersebut terpisah dan memiliki struktur organisasi tersendiri, namun kebersamaan di antara wilayah-wilayah tersebut tidak hilang begitu saja. Hal itu terbukti dalam berbagai even yang masih menunjukkan adanya kebersamaan di antara umat di keempat wilayah tersebut, misalnya dalam kegiatan pembangunan kapel Gantiwarno.