Nao itu anak yang jarang sekali bicara di kelas. Setiap hari, dia datang, duduk di bangku paling belakang, dan cuma memperhatikan guru tanpa banyak gerak-gerik. Teman-teman di kelas nyaris lupa kalau dia ada. Kadang, bahkan, guru juga lupa kalau Nao duduk di sana. Pendiam, selalu sendiri, dan tidak pernah ikut campur dalam urusan siapa pun. Dia semacam karakter figuran, selalu ada tapi tidak pernah diperhatikan.
Hari itu adalah hari pengumuman hasil ujian semester. Suasana di kelas sudah panas karena ini penentu siapa yang jadi peringkat atas. Semua orang tahu, biasanya yang paling tinggi nilainya ya Hiro atau Kana---mereka sudah kayak ikon di kelas ini. Sementara Nao? Rasanya nggak mungkin.
Tapi begitu guru menyebut peringkat pertama, semuanya langsung terdiam.
"Peringkat pertama dengan nilai sempurna... Nao."
Kelas hening seketika, hampir tidak ada yang percaya. Beberapa orang bahkan menoleh ke belakang, seolah mencari Nao. Dia hanya duduk di bangkunya, seperti biasa, tanpa ekspresi khusus di wajahnya. Entah kenapa itu malah bikin semua orang tambah penasaran.
Saat jam istirahat, Hiro dan beberapa teman lainnya langsung mendekati Nao. Hiro menatapnya penuh rasa ingin tahu, "Nao, seriusan? Kamu dapat nilai sempurna?"
Nao menatap balik Hiro dengan ekspresi datar. "Iya, kenapa?"
Kana ikut bergabung, masih bingung. "Nao, kamu nggak pernah ikut belajar bareng sama kita. Kamu juga nggak pernah terlihat belajar keras. Gimana bisa nilaimu sempurna?"
Nao mengangkat bahu. "Aku memperhatikan saat guru mengajar," jawabnya pendek, seolah hal itu biasa saja.
Sebenarnya, Nao punya kemampuan yang tidak dimiliki kebanyakan orang: dia memiliki daya ingat yang luar biasa. Sekali mendengar, dia bisa menyimpan materi di kepalanya dengan baik. Tapi karena dia bukan orang yang suka menunjukkan diri, Nao memilih diam dan mengerjakan segalanya sendirian. Baginya, tidak perlu memamerkan sesuatu yang dia anggap biasa.
Tentu saja, teman-temannya terkejut. Selama ini, mereka mengira Nao adalah anak yang "tidak terlihat"---hanya figuran dalam cerita hidup mereka. Tapi ternyata, dia mampu melakukan sesuatu yang mereka anggap tidak mungkin.
Hari-hari berikutnya, banyak yang mulai mengenal Nao lebih dekat. Anak-anak sering mengajak dia belajar bersama atau sekadar ngobrol di jam istirahat. Nao tetap pendiam, tapi tidak lagi merasa seperti bayangan di kelas. Ia mungkin tetap tidak banyak bicara, tapi ia tahu bahwa kali ini, ia bukan sekadar karakter figuran lagi.
Tanpa berubah menjadi orang lain, Nao tetap jadi dirinya sendiri. Ia tahu, sekarang orang melihatnya dengan cara yang berbeda. Dan meski ia masih duduk di bangku belakang, diam-diam Nao tersenyum kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H