Mohon tunggu...
Masykur A. Baddal
Masykur A. Baddal Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger dan Vlogger

.:: Berbagi untuk kemajuan bersama, demi kemajuan bangsa ::....\r\n\r\nApapun kegiatan anda ini solusinya : https://umatpay.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jakarta Punya Magnet?

19 Juni 2012   11:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13401037451049695918

[caption id="attachment_183554" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Berburu magnet Jakarta"][/caption]

By. Masykur A. Baddal - Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta, untuk menghambat laju migrasi penduduk daerah ke ibukota. Namun, semua usaha yang telah dilakukan seolah berlalu begitu saja, tanpa hasil yang optimal. Di umurnya yang sudah sangat sepuh yaitu 485 tahun, malah serbuan migrasi pun terjadi setiap tahunnya bagaikan air bah yang susah untuk dibendung. Jika dalam teori ekonomi global kita mengenal istilah "Demand and Supply", maka dalam proses migrasi penduduk desa ke kota, kelihatannya juga tidak jauh dari teori tersebut.

Pak Tony sudah lama menerima pesan dari sahabat kantornya, untuk mencari dua orang PRT via keluarga PRT di rumahnya. Sebenarnya sahabat Pak Tony bisa saja mendapatkan PRT di Jakarta. Namun karena sudah ditangani para calo, maka tarif seorang PRT pun melijit begitu tajam, disamping harus membayar gaji PRT, sang penampung juga harus membayar fee kepada calo yang besarannya pun lumayan geude. Mau tidak mau sahabat Pak Tony terpaksa mencari jalur alternatif untuk mendatangkan PRT langsung dari sumbernya, demi penghematan. Sehingga dengan demikian tidak heran, jika setiap tahun sekembalinya dari mudik, para PRT yang telah berpengalaman akan berusaha membawa orang kampungnya ke Jakarta, karena permintaan akan jasa mereka cukup tinggi.

Sebagai ibu negara, Jakarta memang menyimpan seabrek daya tarik. Walaupun berbagai media nasional tidak pernah henti mengekspose berita sekitar derita hidup di Jakarta. Namun, berita tersebut bukannya menyurutkan minat pendatang baru ke ibukota Jakarta, malah sebaliknya. Diketahui, hampir 70% uang di republik ini berputar di Jakarta. Sehingga cukup dengan sedikit ketrampilan dan ketabahan saja, pasti akan kecipratan juga yang 70% itu. Begitulah kira-kira argumen yang diucapkan oleh semua pendatang yang berprofesi sebagai pkl, asongan, juru parkir, PRT dll. yang pernah penulis jumpai.

Magnet utama Jakarta adalah duit. Karena duit itu pulalah orang rela untuk tinggal di pinggir sungai kumuh dan bermacet-macetan. Atau tidur berdempetan di bawah jembatan, atau taman-taman umum. Mereka siap bertahan dengan berbagai resiko demi menunggu cipratan yang 70% itu. Jika sebelumnya di kampung mereka telah bekerja begitu keras, apa salahnya saat di Jakarta untuk bekerja lebih keras lagi demi mendapatkan hasil yang lebih optimal. Begitulah kira-kira apa yang ada di benak para penghuni kota Jakarta.

Pandangan serupa juga berasal dari penghuni Jakarta level menengah. Secara naluri mereka sangat mengidamkan untuk tinggal di desa kelahiran mereka yang damai, akrab sesama warga dan bebas polusi tentunya. Namun, ketika harus berhadapan dengan duit, tetap saja mereka lebih condong untuk kembali ke Jakarta. Karena menurut mereka, tenaga yang dikeluarkan untuk mendapatkan sejumlah duit sangat berbeda. Bagi yang yang sudah berpengalaman hidup di Jakarta, untuk mendapatkan Rp. 100.000 adalah hal yang gampang. Berbeda dengan di kampung, jangankan Rp. 100.000, mencari Rp. 10.000 saja harus pontang panting seharian.

Disadari atau tidak, hal tersebut terjadi akibat kurang meratanya pembangunan di negeri tercinta ini. Selama ini, di kalangan masyarakat umum pembangunan hanya identik dengan ibukota, niscaya rezeki pun akan banyak disana. Sedangkan kampung identik dengan tani, sekilas sebagai sumber kemelaratan. Betulkah demikian? Tentu saja salah. Nah justeru persepsi tersebut yang harus dihilangkan dari setiap benak warga. Tentu saja harus diikuti dengan pemerataan pembangunan di setiap wilayah nusantara. Sehingga rakyat pun tidak harus ngotot untuk tetap bertahan di ibukota.

Salam.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun