Mohon tunggu...
Asmaul Husna
Asmaul Husna Mohon Tunggu... -

student of Al-azhar university cairo egypt

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kau Tak Seperti Dulu Lagi

15 Agustus 2011   19:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

The mousque of Al-azhar yang bertengger dua menara kembar menjadi cirri khasnya adalah rumah kedua baginya, tempat ia mencurahkan gejolak yang ada dalam hatinya yang sedang menderu debu, ia selalu menghabiskan waktunya untuk membaca muqarrar, ia melaksanakan shalat sunnah muthlak dan membaca Al-Qur'an untuk melepaskan rasa penat yang menyapa seonggok tubuh yang tiada daya dan upaya, kajian dan talaqi adalah pekerjaannya walau demikian ia tak miskin akan sosialisasi.

Sungguh dewasa sifatnya pun dermawan, begitu perhatian ia terhadapku, itu yang aku rasakan selama ini sebagai temannya, ia tak pernah marah walau sebenarnya ingin marah, sungguh sangat jauh sekali denganku, aku yang tidak bisa menyembunyikan rasa sedih, benci, sebal, bahagia, aku terkesan sangat childish. Ahh…ingin rasanya aku menjadi seperti dia.

Aku jadi seperti ini, karena support yang tulus darinya, setiap shubuh ia selalu menyempatkan waktunya untukku, membangunkanku untuk shalat shubuh berjama'ah dengannya, usai shalat berjama'ah ia pun kembali ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamarku, aku pun melanjutkan mimpi yang sempat terputus itu.

"Habis shubuh bukannya ngaji malah ngorok!" ucapnya sembari menggoyangkan tubuhku.

"Tadi udah ngaji sebentar" jawabku.

"Terus…tidur lagi, belajar gih, punya kitab jangan cuma dipajang, tapi dibaca?!!" lanjutnya.

ku kira ia tak akan melangkahkan kakinya kembali ke kamarku, tapi dugaanku lain, ia terus mengawasiku, apakah aku belajar atau kembali membangun mimpi, ia teramat tidak suka dengan kebiasaanku yang suka tidur pagi, ia akan terus menggangguku dan tidak akan pergi sebelum aku betul-betul beranjak dari tempat peristirahatanku.

Seketika itu, ku meraih sebuah kitab turats yang tertata rapi di rak bukuku, dan aku pun membacanya, ia masih di sampingku, menungguku hingga aku benar-benar membacanya, setelah dirasa aku serius dalam membaca, ia pun segera meninggalkanku, dan aku pun menutup kitab turats yang sedang dalam genggamanku.

Tiap hari seperti itu, jengkel sekali rasanya hati ini dengan perlakuannya, seolah-olah aku ini anak SD yang membutuhkan pengawasan ketat dalam belajar, tapi aku menyadari bahwasanya ia sayang dan peduli terhadapku.

Kini, the mousque of Al-azhar dambaan sejuta umat itu tak lagi ia kunjungi, al-qur'an penyejuk hati pun tak lagi ia sentuh, belajar apa lagi, hanya shalat fardlu yang tak dilupakannya.

Pulang malam, pergi pagi, itulah aktifitas terkini yang sedang ia geluti, waktunya ia habiskan di rumah kekasihnya, entah apa yang di lakukannya disana, aku pun tak tahu, yang aku tahu hanyalah; Dia sudah berubah, tak seperti dulu lagi.

Pergi menemui sang pujaan hati dengan wajah berseri-seri, pulang meninggalkan kekasih penentram jiwa dengan wajah redup, tak ada senyum disana, hanya linangan air mata yang terus mengucur seola-olah tak mahu berhenti, bak hujan turun deras dari langit.

"Celananya siapa?" tanyaku padanya ketika aku melihat ia menjahit sehelai celana jeans, entah kepunyaan siapa aku tak tahu. Ia tak menjawab pertanyaanku, ia hanya menyunggingkan senyum, dan aku pun tahu apa yang di maksudkannya.

Besoknya, ia membawa setumpuk baju kotor kepunyaan kekasihnya, ia pun siap untuk mencuci, aku diam memandanginya. Akhirnya seuntai kata terucap dari lisannya; "Dia sakit, jadinya aku yang nyuci baju-bajunya". Aku diam tak menjawab.

"Manja sekali tuh cowok, disuruhnya temanku menjahitkan celananya, mencuci bajunya, ya…meskipun ia sedang dalam keadaan sakit, tapi kan cuma masuk angin, bukan sakit parah, toh besok-besok juga sembuh" pikirku.

Seorang perempuan tercipta ke dunia untuk menemani laki-laki, mengurus suami jika telah bersuami, mencuci bajunya suami, menjahitkan celana suami tercinta yang sobek, memasang kancing baju suami yang lepas, dan masih banyak lagi kewajiban istri terhadap suami.

Ok, aku bisa menerimanya, toh memang seperti itulah kodrat seorang perempuan, akan tetapi tidak untuk sekarang, karena mereka berdua belum resmi menjadi pasangan suami istri, baru tahap berpacaran, jadi kodrat yang demikian belum pantas untuk di terapkan, menurutku.

Jarum jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari, batang hidungnya belum terlihat olehku, dimanakah dia, sedang apakah dia disana, aku gelisah dibuatnya, akhirnya aku terlelap dalam mimpi manisku.

INNALILLAHI WAINNA ILAIHI RAJI'UN…teriakku ketika aku mendapati temanku bersama pujaan hatinya itu sedang terlelap dalam tidurnya.

"Bangun, bangun, dan sekarang juga, aku minta kamu pergi dari rumahku, pergiiii!!" ku goyangkan tubuh kekasih temanku itu dengan sangat kasar.

Ia pun segera pergi meninggalkan rumahku dengan keadaan muka kusut, kusam. Sang bidadarinya menangis meraung-meraung seolah-olah tak kuasa melihat pelipur laranya itu pergi meninggalkannya.

Tangan halusnya melayang ke pipi kananku, sebuah tamparan hangat tengah aku rasakan, sembari berkata…

"Dia sakit Tari, aku mohon pengertianmu" pintanya kepadaku.

"Ooo…dia sakit, tapi kenapa harus tidur di rumahku, tidak punya rumahkah dia?" tanyaku padanya.

"Ok…dia tidur disini, tapi tidak satu kasur dan satu selimut, seperti apa yang baru saja kamu lakuin, pintu kamar ditutup, lampu kamar pun kamu matiin, ya…walaupun kepalamu di atas dan kepala pacarmu itu di bawah kakimu, aku nggak papa dia nginap disini, asalkan kamu tidur di kamarku, tidak tidur satu kamar dengannya, meskipun kamu nggak ngapa-ngapain, tapi perbuatan yang baru saja kamu lakukan itu, membuatku suudzon, kamu kerasukan apa sih, kok berubah begini". Ocehan, omelan dan sejenisnya terlontar tak sengaja dari lisanku. Ia hanya menangis, mukanya merah padam, tertunduk lesu.

"Kamu kenapa, apa yang terjadi denganmu, dia yang merubahmu atau memang kamu sendiri yang menciptakan perubahan ini??". tanyaku seraya menangis mengikutinya.

"Maaf Tari, maaf". Hanya kata itu yang terucap dari lisannya, ia tak mampu berkata-kata, ia larut dalam tangisnya.

Tak semestinya permintaan maaf itu di tujukan kepadaku, kepada Tuhan semesta alamlah permohonan maaf itu dilayangkan, aku manusia dan ia pun manusia, sama-sama pernah bersalah, mungkin saat ini temanku yang melakukan kesalahan dan mungkin besok aku yang terjerumus dalan jurang kenistaan, na'udzubillahi mindzalik.

"Mungkin kamu benar, aku telah berubah, aku tahu dan sangat tahu dengan perubahanku ini, aku tidak bisa mengendalikannya, aku ingin kembali pada diriku yang dulu, tapi aku tidak bisa, aku punya cowok, suatu saat nanti kamu bakal merasakannya, bahagia, yang aku rasakan ketika aku bersamanya, sedih, aku merasakannya juga karena tak punya waktu lagi untuk berbagi cerita denganmu". Tangisnya semakin menggelegar.

"Kamu yang mengambil keputusan itu, aku nggak ada hak untuk melarang kamu, aku hanya bisa mendoakanmu semoga antara kamu dan dia baik-baik saja dan status hubunganmu kedepannya juga semoga lebih baik tentunya dalam ridhaNya, aku hanya minta jam ngedatenya dikurangin, ya…maximal pulang jam 23.00 jangan seperti kemarin-kemarin, dan satu lagi, kalau bisa kamu tidur dirumah". Lanjutku.

Akhirnya setiap hari ia pulang ke rumah tepat pukul 23.00, tapi anehnya, aku tak menemukan muka yang berseri-seri terpancar dari raut wajahnya, hanya wajah penuh air mata yang aku dapatkan sepulang dari rumah pacarnya, ingin rasanya tangan ini melayangkan sebuah tonjokan ke muka cowok idamannya. Ahh…tapi aku hanyalah seorang wanita, tak punya keberanian untuk melakukan hal itu.

kini ia menjadi sosok perempuan yang cengeng, ia yang dewasa, perhatian, rajin, dermawan, sudah tak ada lagi, semuanya telah pergi, terbang bersama merpati dambaan hati, hanya tinggal kenangan, terkubur dalam angan-angan kosong belaka.

Timbul rasa suka atau cinta terhadap lawan jenis itu normal, pengaplikasian yang kurang tepat seperti pacaran itu upnormal, menurutku. Bukan berarti pacaran itu menimbulkan dampak negative, tidak semuanya, semua itu kembali pada individu masing-masing.

By: Cus_n@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun