Mohon tunggu...
Nissa Nurhaliza
Nissa Nurhaliza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember

Seorang mahasiswa yang gemar observasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Larangan Thrifting Produk Impor sebagai Upaya Proteksionisme Indonesia

22 Maret 2024   08:09 Diperbarui: 22 Maret 2024   08:13 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini, thrifting terutama thrifting produk yang berasal dari luar negeri gemar diburu oleh masyarakat Indonesia. Tidak hanya kalangan muda seperti Gen Z, perburuan thrifting produk impor juga menyebar pada kalangan dewasa. Mencuatnya tren serta keterjangkauan harga yang  cukup pas di kantong dengan kondisi produk masih prima menjadi alasan masyarakat Indonesia memburu produk thrifting ini (Hardiantoro & Firdaus, 2023). Akan tetapi, produk second-hand dari luar negeri tersebut ternyata menghadirkan tindakan kebijakan dari pemerintah. Kebijakan tersebut mengenai dilarangnya kegiatan thrifting produk impor di Indonesia. Sebenarnya kenapa sih thrifting produk impor itu dilarang? Apakah berkaitan dengan perekonomian negara? Berikut penjabarannya.

Thrifting

Secara sederhana, thrifting merupakan bentuk pembelian terhadap barang second-hand atau barang pernah-pakai (bekas). Bila menilik harfiahnya, Thrifting muncul dari kata "thrifty", yang mana diartikan sebagai "hemat" (Lestari & Asmarani, 2021).  Hal tersebut dimaksudkan pada tujuan dari memburu thrifting sendiri, yakni untuk berhemat. Sehingga, Thrifting merupakan kegiatan pembelian produk atau barang second-hand yang pada dasarnya dilakukan untuk berhemat.  

Dalam kegiatan thrifting tersebut, terdapat thrifting lokal dan thrifting produk impor. Produk thrifting lokal mengacu pada pembelian produk second-hand yang berasal dari dalam negeri, Sementara itu, pada pembelian produk second-hand yang impor, tentu produk untuk pembelanjaan barang bekas ini didatangkan dari luar negeri. Kendatipun terbagi atas jenis tersebut, thrifting seringkali merujuk pada pembelian produk pernah-pakai yang didatangkan secara impor (Lestari & Asmarani, 2021).

Seperti yang telah diulas secara singkat sebelumnya, thrifting digemari masyarakat Indonesia karena faktor tertentu. Pertama, harga terjangkau. Hampir keseluruhan dari produk thrifting impor dijual di Indonesia dengan harga yang cukup murah. Kedua, produk branded dan atau berkualitas masih bagus. Tidak jarang produk thrifting ini merupakan produk branded atau produk bermerk, seperti contoh produk thrifting berupa pakaian merk hush puppies. Disamping itu, tren juga menjadi pendorong masyarakat Indonesia tidak malu untuk melakukan thrifting. 

Kegiatan thrifting produk impor tersebut memiliki berbagai dampak kepada Indonesia. Bila melihat melalui sisi positifnya, thrifting membuat masyarakat Indonesia yang rata-rata pendapatannya pada tingkat menengah mampu menghemat pengeluaran. Tidak hanya itu, thrifting juga sebenarnya mampu mengurangi limbah tekstil. Hal tersebut dimaksudkan pada penggunaan kembali produk thrifting yang merupakan barang pernah-pakai (bekas). Sehingga, tentu hal ini dapat mengurangi limbah seperti contoh mengurangi limbah pakaian.

Walaupun memiliki dampak positif, thrifting produk impor ini juga memiliki cukup banyak dampak negatif. Pertama, merugikan produk dalam negeri. Hadirnya thrifting produk impor yang terkadang merupakan barang branded dan dijual murah tentu membuat produk UMKM dalam negeri yang harganya masih menyesuaikan kualitas ini tersaingi.

 Dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang memilih untuk membeli produk thrifting impor, maka tentu keberlangsungan dari UMKM dalam negeri terancam. Selain itu, terdapat barang yang membuat konsumen (masyarakat Indonesia) tidak nyaman. Sebagai barang pernah-pakai (bekas), tentunya barang thrifting impor ini tidak semuanya bagus. Dengan kata lain, tentu terdapat barang-barang thrifting yang cacat yang mana mampu membuat konsumen tidak nyaman menggunakannya. Ketiga, kemungkinan tertularnya penyakit. Meskipun barang thrifting kemungkinan besar telah dicuci dulu sebelum dijual dan pastinya juga dicuci lagi sebelum dikenakan oleh konsumen, bakteri dari pemakai produk itu sebelumnya kemungkinan tetap menetap pada pakaian tersebut. Lebih parahnya, mampu menular atau mengenai pemakai second-hand. Seperti contoh terdapat rash atau gatal setelah memakai pakaian tersebut. Sehingga tentu, kendatipun memiliki beberapa dampak positif, thrifting mampu membahayakan masyarakat Indonesia dengan cukup banyaknya dampak negatif yang ada.

Menanggapi prihatinnya kondisi UMKM Indonesia yang tersaingi dengan thrifting produk impor, pemerintah menegaskan kembali kebijakan restriction import produk thrifting. Pada peraturan terbaru yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 40 tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 18 tahun 2021, dapat diketahui mengenai produk yang dilarang impor dan ekspor. Peraturan tersebut menegaskan larangan impor beberapa hal terutama pakaian pernah-pakai (Aida & Nugroho, 2023). Sebelum ditegaskannya peraturan ini, telah ada beberapa peraturan lainnya.Seperti contoh pada Undang-Undang No. 7 tahun 2004 yang memuat larangan impor pakaian bekas serta Undang-Undang No. 11 tahun 2020 yang menegaskan kewajiban importir untuk impor hanya produk dalam keadaan baru (Aida & Nugroho, 2023). Sehingga, sebenarnya thrifting dari produk impor tersebut sudah menjadi hal illegal sejak lama sebelum digaungkan pemerintah kembali. 

Protectionism 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun