Tahun ini jadi tahun yang cukup gelap dan pekat untuk sebagian wilayah Indonesia. Gelap dan pekat dalam arti sebenarnya. Karena di beberapa wilayah terjadi bencana kabut asap akibat pembakaran lahan. Bahkan saya sempat terjebak tidak bisa pulang ke tanah air di jawa timur, bulan september kemarin. Bandara Sultan Thaha Jambi lumpuh total. Penerbangan dari dan menuju Jambi sama sekali tidak dapat dilakukan karena jarak pandang yang berada di bawah batas aman penerbangan. Alhamdulillah, saat itu ada alternatif via darat ke Palembang. Sebenarnya disana pun kabut asap sudah mulai masuk, tapi belum separah di Jambi. Dan bandara Palembang memiliki teknologi yang lebih canggih untuk mengurangi dampak asap bagi pesawat yang (terutama) akan mendarat.
Saya tidak akan menyalahkan siapapun, bahkan pemerintah. Entah apa yang dapat saya katakan, kalau pemerintah lepas tangan atau bertindak minimal dalam penanganan kasus ini. Bukankah sudah sewajarnya bagi sebuah pemerintahan untuk menjamin hak hidup rakyatnya secara baik (dan sehat). Kalau bukan di pemerintah, lantas kepada siapa tanggung jawab ini digantungkan??
Kali ini saya akan menyalahkan diri saya sendiri. Diri yang masih suka membuang puntung rokok sembarangan. Diri yang suka merokok di tempat umum, sehingga asapnya terhirup oleh saudara-saudara saya yang lain. Bahkan terhirup oleh orang-orang yang saya cintai. Yang dalam lubuk terdalam, saya sama sekali tidak ingin mereka menghirupnya.
Bukankah merokok adalah pembakaran "lahan" yang mengakibatkan kabut asap juga??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H