Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis sebagai Kebutuhan Hidup

20 November 2016   23:00 Diperbarui: 21 November 2016   03:24 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dari kiri ke kanan) penulis Maman Suherman, Assistant Manager Kompasiana Iskandar Zulkarnaen, Kompasianer of the Year 2016 Yayat, dan MC Rizky Saragih

Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, menulis itu bekerja untuk keabadian.

Mengapa warga harus menulis? Itulah alasan Kompasiana menyapa dan mengajak Kompasianer dan blogger untuk membangun awareness tentang ‘Ayo Saatnya Warga Menulis’. Demikian MC Rizky Saragih membuka Kompasiana Nangkring “Saatnya Warga Menulis”. Acara tersebut diselenggarakan pada 6 November 2016 di Booth Group of Digital Kompas Gramedia, Pekan Raya Indonesia, Indonesia Convention Exhibition BSD. Rizky tak sendiri, bersama para pembicara yang tak asing lagi, Kompasianer of the Year 2016 Yayat, Assistant Manager Kompasiana Iskandar Zulkarnaen yang akrab Isjet, dan penulis Maman Suherman.

Yayat yang baru pulang dari  Kuala Lumpur meliput pertandingan MotoGP menyampaikan, awal bergabung di Kompasiana pada 2009. Hobi otomotif mendorongnya fokus menulis tentang MotoGP. Sebelumnya Yayat hobi  menonton MotoGP hingga ia memotivasi dirinya untuk menulis. Sebagai seorang warga, Yayat menilai dirinya berbeda dengan wartawan yang telah mengikuti pelatihan jurnalistik. Apa yang harus dilakukan ketika reportase di lapangan? Yayat memandang blogger lebih fleksibel dibandingkan wartawan yang memiliki tingkat kesulitan sendiri. “Misalnya ada teman-teman saya yang baru pertama kali ke Sepang, mereka bisa menulis tentang  suka duka selama di sana. Wartawan tidak menulis seperti itu,” kata Yayat.

Selama di Sepang Yayat mengaku tidak menulis jalannya pertandingan. Menurutnya hal itu sudah biasa. Ia memilih menulis keunikan fans dan penonton. Yayat menilai, kita harus menikmati proses menulis untuk tetap menjaga mood. Dengan demikian tulisan yang dihasilkan lebih mengalir. “Kalau tidak suka otomotif seperti saya, jangan dipaksakan. Tidak masalah menulis tema apapun seperti wisata atau kuliner asal enjoy sebab  tidak ada paksaan dari pemimpin redaksi,” ujar Yayat, penggemar Valentino Rossi.

Dalam pandangan Isjet, di era media sosial semua orang  berada di dunia digital. Melalui akses internet kita  mendapatkan informasi. Maka penulis adalah profesi yang paling banyak memiliki  kesempatan untuk eksis di dunia maya. Di dunia maya  siapapun bisa menulis. Masyarakat bisa  menyampaikan hal apapun secara to the point,  didukung dengan fakta orang paling banyak menghabiskan waktu di internet dengan membaca. Dahulu kita hanya bisa membaca SMS di smartphone. Saat ini kita bisa membaca informasi yang ditampilkan internet melalui smartphone.

Bagi Isjet, menulis adalah kemampuan yang harus dimiliki semua orang. Guru yang bisa menulis akan lebih baik dibanding guru yang tidak bisa menulis. Demikian halnya dokter, insinyur, bahkan presiden. Jadi menulis bukan lagi  monopoli media atau penulis itu sendiri. Adanya Kompasiana membuat blogger bisa menulis dan segera mendapatkan pembaca. Pada masa lalu hal tersebut tidak terbayang. “Masa lalu berbeda dengan masa kini,” tutur Isjet yang asli Betawi.

Kompasiana didedikasikan sebagai wadah menulis online. Berbeda dengan blogger yang menulis dan melakukan promosi seorang diri, Kompasianer cukup menulis dan ada editor yang membantu memilih apakah tulisan tersebut dikategorikan  headline atau tidak. Dengan demikian tulisan itu bisa dikenal orang.  Kompasiana membuka wadah ini kepada siapapun  tanpa batas. Pemikiran penulis di media warga  berbeda dengan media mainstream. Tulisan wartawan harus mengandung kepentingan publik sementara tulisan jurnalis warga mengandung kepentingan yang mewakili pembacanya.

Jadilah Terang Dunia

Selanjutnya Maman memaparkan dirinya berkecimpung sebagai wartawan pada 1986 sampai 2003. Awalnya beliau bergabung sebagai wartawan di Tabloid Nova. Di tengah kebisingan kita bisa menulis tanpa  harus berteriak dan suara kita bisa didengar oleh banyak orang. Maman merasakan betul rezim narasi tunggal pada periode  1986-1998. Orde Baru  tidak bisa dilawan, kebenaran hanya berpihak kepadanya.

Di kondisi itulah banyak wartawan yang  melakukan semacam gerilya untuk menulis dan mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia itu jauh lebih besar. “Pada masa itu setiap headline di Tabloid Nova dipantau oleh Departemen Penerangan, mana yang boleh, mana yang tidak. Itu sangat menyakitkan. Di era reformasi jurnalisme warga, kita tidak lagi menemui rezim narasi tunggal,” ujar Maman yang berdarah Makassar.

‘Saya hidup dari menulis’, begitu pengakuan Maman. Ia berkisah, sejak kelas 4 SD  sudah menulis puisi di majalah anak. Suatu hari Maman menulis tentang kakak kelasnya yang memiliki kulit sangat putih. Puisi itu dimuat. Maman memperoleh honor  Rp 50 (tahun 1974). Puisi dan bukti penerimaan honor selanjutnya ditunjukkan kepada  perempuan itu. Maman bisa   melihat raut wajah bahagia. Sejak itu ia  percaya, menulis  bisa membahagiakan orang. Maman percaya seorang penulis atau jurnalis warga bisa  menjadi editor,  pemasar sekaligus produser untuk dirinya sendiri lewat  media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun