Saat ini industri perfilman Indonesia melibatkan semakin banyak perempuan tidak hanya di depan layar, juga di belakang layar. Perempuan berperan di semua lini, sebagai sutradara, script writer, produser, bahkan di sisi teknikal salah satunya menangani audio. Kontribusi perempuan membuat film tampak utuh, emosional, dan indah ditonton.
Demikian tanggapan script writer Swastika Nohara dalam talkshow ‘Saatnya Sineas Perempuan Pegang Kendali di Kancah Film Nasional’ pada 6 Mei 2017 di Lau’s Kopitiam Setiabudi One. Acara yang diselenggarakan oleh Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub (KOMiK) tersebut juga menghadirkan blogger film Balda Zain Fauziyyah. Swastika menyampaikan, bayangkan kain dari Makassar dalam film Athirah tidak akan terlihat bagus jika tidak ditata dengan apik oleh penata artistik. Tantangan fisik yang dihadapi perempuan yang bekerja di industri film terbilang berat mengingat jam kerja yang panjang terlebih lokasi shooting yang sulit. Namun perempuan menghadapinya dengan senang hati dan tidak mengeluh. “Banyak di antara mereka yang sudah menikah dan punya anak. Mereka bisa berkompromi dan tetap berkarya,” kata Swastika, script writer Cahaya dari Timur dan 3 Srikandi.
Swastika menjelaskan, dahulu positioning perempuan di perfilman Indonesia sebatas objek yang dieksploitasi kecantikan atau keseksiannya. Ini fakta yang mau tidak mau harus diakui. Film adalah dunia yang sangat patriarkis baik di depan maupun belakang layar. Perempuan di depan layar pun perannya masih kecil, contohnya film Roekiah (1937) yang terkenal sampai ke Semenanjung Malaya. Selanjutnya Titien Sumarni dalam film Seruni Salju (1951) yang dikenal sebagai Marilyn Monroe-nya Indonesia. Namun dalam film Tiga Dara (1956) yang belum lama ini direstorasi, perempuan dikenal wajahnya di depan layar. Bagaimana dengan perempuan di belakang layar? Tahun 1950 hadir film Sedap Malam dengan Ratna Asmara sebagai sutradara.
Tahun 1990-an periode mati suri film Indonesia. Kemudian bangkit dengan film Petulangan Sherina tahun 2000 melalui Sherina yang digambarkan sebagai anak perempuan yang cerdik dan kuat. Beberapa tahun kemudian muncul film yang mengetengahkan tema dan pemeran perempuan, seperti film Kartini dengan kekuatan dan ide ceritanya. Menurut Swastika, research is the body and soul of filmmaking. Tidak ada elemen yang tidak penting dalam sebuah film. Mengapa tiga tokoh dalam film 3 Srikandi mengenakan fit training dengan model yang sama. Itu sudah didesain oleh penata busananya yang juga perempuan. Ia melihat footage pertandingan tiga atlet di masa itu, dipelajari dan dibreak down. “Ia sudah punya skema warna, untuk Lilis lebih banyak warna karena orangnya ceria dan ekstrovert, untuk Kusuma lebih kalem karena orangnya pendiam, untuk Yana diberi warna yang kuat karena karakternya sebagai leader. Film periodik yang mengangkat film di masa lampau akan kentara sekali dari dandanan tokoh perempuannya,” ujar Swastika.
Dalam pandangan Swastika, di Indonesia top movie yang unggul secara cerita dan penggarapan itu belum banyak. Sebenarnya film Indonesia mampu bersaing, tapi di level Asia Tenggara. Untuk bersaing dengan film Hollywood, banyak hal perlu dibenahi. Tidak hanya dari sisi kualitas film, juga strategi marketing, produksi dan distribusi. Balda menilai, pasar film grade A atau film festival secara komersil terbilang masih sedikit, contohnya film Istirahatlah Kata-Kata mengingat selera penonton Indonesia. “Kalau sudah merambah festival internasional, pasti ada salah satu nominasi atau penghargaan diperoleh film itu yang mengharumkan nama bangsa,” kata Balda yang juga mengulas film di Youtube dengan channel Movie Break.
Relevan hingga Kini
Swastika memandang film Athirah sangat bagus secara production values, cerita, dan akting. Demikian halnya dengan film Kartini. Sebuah kebetulan dua film tersebut menggambarkan ruang gerak perempuan yang masih sangat terbatas di masa lampau. Orang-orang seperti Athirah atau Kartini dianggap luar biasa sehingga difilmkan. Namun banyak isu di film tersebut yang telah terjadi puluhan tahun lalu masih relevan hingga kini. Bahwa sebenarnya belum semua perempuan maju. Ada sisi kehidupan perempuan yang masih sama, misalnya perempuan yang dimadu suaminya hingga harus struggle membesarkan anak. Masih banyak kisah seperti itu dengan kemasan dan setting yang berbeda, sudah lebih modern. “Prihatin,” tutur Swastika yang menempuh pendidikan Master di bidang Screen Documentary di Goldsmiths, University of London.
Swastika yang mengawali karier sebagai wartawan online dan reporter TV sejak lama ingin membuat film dokumenter. Namun kurang disetujui redaktur dengan alasan rating kecil. Hingga Swastika belajar menulis skenario film. Ia sempat menulis skenario untuk FTV. Saat ini ia fokus menulis script untuk film. Swastika memiliki banyak draft dengan beragam genre, seperti action, horor, petualangan, hingga drama. Ia menawarkan sinopsis kepada produser atau sutradara. Jika mereka berminat, dikembangkan menjadi plot line hingga full draft. Swastika memberi gambaran film 3 Srikandi yang rilis pada Juli 2016 diawali dengan riset pada November 2014. “Dalam prosesnya saya banyak bertemu dengan sutradara dan produser untuk berdiskusi. Ada proses maju, kadang stuck, kadang mundur,” kata Swastika. Film merupakan media audio visual. Itu tantangannya. Script writer dihadapkan pada ‘show, don’t tell’. Semua harus ditunjukkan, tidak diceritakan secara verbal. Apa yang kita tuliskan adalah deskripsi dari visualitas yang ada di kepala. Bentuk karakter semenarik mungkin. Karakter yang kuat akan lebih mudah menggerakkan cerita. Kunci sukses skenario film adalah membuat audience percaya dan yakin dengan apa yang kita ciptakan, semua tampak nyata dan masuk akal di layar. Tantangannya adalah menemukan takaran dan racikan cerita yang pas.
Terkadang produser ingin film sukses secara komersil. Maka ada beberapa kompromi antara penulis skenario dengan produser dan sutradara terkait dengan keterbatasan budget misalnya. Berbeda dengan novelis yang memiliki otoritas penuh dan tidak ada durasi yang membatasi. Ia bebas berimajinasi sampai ratusan halaman asal ceritanya menarik untuk dibaca sampai habis. “Menjadi penulis skenario itu harus suka menulis. Selanjutnya menajamkan sesuai dengan kebutuhan, apakah itu skenario iklan atau skenario FTV. Masing-masing ada penggemar dan tata cara yang bisa dipelajari. Belajar, latihan, ulangi terus sampai jadi,” ujar Swastika.