Peserta Akademi Menulis Kompasiana-PLN berfoto bersama sebelum penjurian dan diskusi panel
Berpartisipasi dalam Akademi Menulis Kompasiana-PLN adalah pengalaman baru bagi para Kompasianer. Kami mengetahui dan memahami kondisi PLN. Tak hanya itu, para peserta semakin mendalami cara menulis yang baik. Dengan demikian masyarakat tercerahkan. Bahwa PLN tidak identik dengan pemadaman.
Semangat pagi! Demikian sambutan yang kami, sembilan Kompasianer, terima dari Emmilia Tobing. Lia, begitu ia disapa merupakan peserta keempat dari lima peserta di Ruang Diponegoro PT PLN Usdiklat Jakarta. Total ada 20 peserta yang menjalani penjurian dan diskusi panel Akademi Menulis Kompasiana-PLN pada 25 April 2016 lalu. Sebelumnya pada 18-23 April 2016 mereka mengikuti akademi dan praktik menulis. Sementara itu total ada 30 Kompasianer yang menyimak dan menanggapi penjurian dan diskusi panel. Mereka tersebar dalam tiga ruangan. Selain Ruang Diponegoro, di Ruang Teuku Umar dan Imam Bonjol.
Pada kesempatan tersebut Lia yang menjabat Supervisor Humas dan PKBL PLN Wilayah Sumatera Barat itu mempresentasikan empat karyanya yang ditulis di Kompasiana. ‘Kisah di Balik Pasokan Listrik Aman Saat Latihan Mancanegara’ adalah feature yang ditulisnya. Lia tidak menceritakan kegiatan Multilateral Naval Exercise Komodo 2016, melainkan konflik. Selanjutnya pada tulisan kedua yang bersifat opini, ‘Bagaimana Agar Pasokan Listrik Aman?’, Lia membagikan pengetahuannya seputar langkah-langkah PLN agar pemadaman tidak terjadi. Termasuk alasan dilakukannya pemadaman.
Tulisan ketiga yang bersifat photo blogging, ‘Kenikmatan di Dalam Pasar itu Bernama Salon’ didasarkan pada metode yang diajarkan COO Kompasiana Pepih Nugraha. Rasa penasaran yang tinggi mengenai salon di tengah Pasar Palmerah. Hal itu dinilainya unik. Di antara toko emas dan toko penjual kebutuhan rumah tangga berdiri salon. Lalu Lia mendatangi salon tersebut. Ternyata ada dua jenis salon, salon pada umumnya dan ‘salon’. Ia melakukan perbandingan. Ada pengalaman seru di dalamnya. Lia sempat diusir. Karena keterbatasan waktu, ia tidak melakukan observasi lebih lanjut.
Sementara pada tulisan keempat, ‘Kenalan Baru di Pasar Palmerah’, Lia bertemu dengan orang-orang spesial, seperti penjual soto padang, penjual emas, tukang parkir, hingga pemilik salon. Luar biasa, Kang Pepih yang saat itu bertindak sebagai juri mengapresiasi karya Lia. Menurutnya hal-hal sederhana di sekitar jika digali hasilnya akan bagus. “Itu adalah pengalaman yang sangat menyenangkan buat saya,” kata Lia.
Pemberitaan Positif
Lia mengaku selama menjadi peserta Akademi Menulis Kompasiana-PLN membuatnya mengetahui sudut pandang pekerja media. Dengan demikian ia paham akan diperlakukan seperti apa mereka. Selain itu Lia benar-benar terjun ke sumber berita. Bukan menjalani diklat normatif seperti yang selama ini diadakan PLN. Lia dengan latar belakang Manajemen Komunikasi Universitas Padjajaran itu meyampaikan, tanpa disadari ketika masuk ke institusi ilmu yang dipelajari saat kuliah harus mengalami pembauran. “Adanya kegiatan ini merefresh ilmu yang disesuaikan dengan idealisme kita,” kata Lia.
Banyak hal baru yang diperoleh Lia, salah satunya mind mapping. Selama ini ia menulis pers release dengan bahasa yang kaku. Penggunaan mind mapping membuat penulisan lebih terarah dan jelas. Kang Pepih menambahkan, mind mapping adalah memetakan pikiran sehingga menulis menjadi fokus. Awalnya mind mapping digunakan dalam bidang SDM. Ketika diaplikasikan di bidang penulisan itu luar biasa. “Ternyata sah-sah saja menggunakan bahasa populer di media digital,” tutur Lia yang bergabung di PLN sejak 2008.