Menyantap Bubur Ase bukan sekadar mengisi perut atau memanjakan lidah, ada cerita di balik setiap sendokannya.Â
Selama ini saya gemar menikmati Bubur Cianjur. Bubur yang lembut berpadu dengan aneka topping nan menggiurkan, diantaranya suwiran ayam, potongan cakwe hingga remahan kerupuk.Â
Tak lupa kecap dan sambal yang semakin menggugah selera. Bagaimana dengan Bubur Ase?Â
Saya  belum pernah mendengar nama makanan itu, apalagi membayangkan rasanya. Hingga pada 15 Juli 2018 lalu saya mengikuti #Ngojak15 dengan tema Tanah Abang; Punya Cara dan Cerita. Ngopi Jakarta yang dikenal dengan Ngojak adalah komunitas pegiat apresiasi sejarah dan budaya.
Tanah Abang yang identik dengan kemacetan dan keramaian ternyata menyimpan kisah yang tak habis diulas. Betawi menjadi basis Tanah Abang.Â
Budaya warga asli Jakarta tersebut hidup berdampingan dengan budaya Arab dan Tionghoa serta budaya kaum pendatang lainnya. Tanah Abang, destinasi belanja itu kini menawarkan pesona yang tak sabar untuk segera diulik.
Sekitar 40 peserta #Ngojak15 dengan tertib menyusuri gang demi gang. Bubur Ase Ci Elis menjadi tujuan pertama kami selain tujuan lainnya, seperti Masjid Al-Makmur dan Klenteng Hok Tek Ceng Sin.Â
Deretan rumah yang tergolong padat menjadi pemandangan kami pagi itu. Senyum dan tatapan warga setempat seolah menyiratkan pertanyaan, "hendak ke mana rombongan yang terlihat mengular ini?."
Tibalah kami di kedai bertenda biru. Ditemani menantunya, Ci Elis melayani kami sambil sesekali berkisah.
emampuan membuat Bubur Ase diperoleh Ci Elis dari nenek suaminya. "Saya melestarikan warisan mertua untuk menjaga tradisi Bubur Ase," kata Ci Elis yang tinggal di Tanah Abang sejak tahun 1978.