Bagaimana peran perempuan dalam rumah tangga atau ruang sosial lainnya? Bagaimana posisi perempuan di tengah keluarga, sebagai anak, istri, ibu, hingga menantu? Semua itu tersaji dalam konflik pada film Sendiri Diana Sendiri dan Memoria.
Seorang suami yang menyodorkan proposal pembagian waktu dan gaji kepada istrinya Diana. Suami itu berniat menikah untuk kedua kalinya. Adegan dalam film Sendiri Diana Sendiri yang diproduksi tahun 2015 itu bukan rekaan. Selama setahun lebih sutradara Kamila Andini mendampingi kerabatnya yang mengalami kegalauan akibat peristiwa tersebut. Kamila berpikir kasus itu bisa menjadi kendaraannya untuk mengeksplor pertanyaan mengenai poligami dalam melihat perasaan perempuan. “Menurut saya perasaan adalah hal yang paling konkrit dari perempuan dalam konflik apapun,” kata Kamila dalam Pemutaran film dan diskusi ‘Baru Seiya, Belum Setara’ pada 31 Maret 2017 di Bentara Budaya Jakarta.
Pembicara lainnya Co-founder Magdalene.co Hera Diani menilai poligami adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan tidak hanya berwujud fisik, mencakup psikis, ekonomi, sampai seksual. Perempuan cenderung mempertahankan pernikahannya walaupun mengalami poligami. Pertimbangan utamanya adalah anak. Seperti Diana yang dipaksa tegar demi anaknya. Absennya suami untuk beberapa saat membuat pekerjaan rumah tangga yang menjadi tugasnya seperti mengganti lampu dilakukan Diana.
Sebagai korban, Diana berharap adanya dukungan untuk rencana perceraiannya. Namun baik keluarganya maupun keluarga suami tidak membenarkan dengan alasan perceraian akan mencemarkan nama keluarga. ‘Seburuk apapun sikap suami, istri harus mengikuti’, demikian pesan sang ibu. Di sisi lain Diana sekaligus berada dalam posisi sebagai pelaku. Ketika menceritakan niat suaminya untuk berpoligami, ia dituduh oleh mertuanya tidak mampu membahagiakan atau memuaskan suami selama ini. Suara Diana nyatanya dianggap menyalahi norma masyarakat. Posisi Diana semakin terimpit. Pertengkaran demi pertengkaran selalu terjadi saat jadwal pulangnya suami. Suami terindimasi sebab ia merasa perannya tidak dibutuhkan sejak Diana memutuskan kembali bekerja. Menurut Hera, poligami hanya melahirkan generasi yang hancur. “Keberhasilan patriarki itu saat perempuan menerima nilai-nilai yang merugikannya,” tutur Hera.
Begitu mengetahui suaminya berniat menikah lagi, Diana segera mempercantik diri, salah satunya melakukan ratus. Kamila memandang perempuan yang berada di posisi itu cenderung memperhatikan dan memperbaiki penampilan dirinya. Ada pertanyaan dalam dirinya ‘apakah saya tidak cukup baik, tidak cukup cantik, tidak cukup melayani’. Bagaimanapun topik poligami ini tidak ada habisnya dibicarakan, diulik dari berbagai sisi. Sangat banyak perspektif yang dihasilkan. “Dalam film ini saya mau fokus ke Diana sebagai individu, sebagai perempuan. Buat saya yang lebih penting sebagai perempuan ia menjadi perempuan yang mandiri, punya suara atas dirinya sendiri, punya pilihan atas apa yang mau dilakukan. Itu yang saya kedepankan dari film ini,” ujar Kamila.
Luka Sejarah
‘Apa itu cinta, bagaimana rasanya saling mencintai?’, Maria bertanya kepada Flora, anaknya yang sebentar lagi melepas masa lajang. Cinta hanya mendatangkan lara tak kunjung henti untuk Maria. Dalam pandangan suami, kekerasan fisik yang dilakukannya bukan sesuatu yang salah. Seharusnya Maria berterima kasih sebab telah dinikahi dengan mahar yang tinggi mengingat statusnya sebagai mantan istri tentara. Maria tetap diam menerima perlakuan itu.
Adegan dalam film Memoria dengan latar konflik Timor Timur juga menyajikan penuturan korban lainnya yang berkali-kali diperkosa oleh tentara. Ada yang keguguran. Ada yang rahimnya hancur. Ada yang melahirkan anak cacat. Ada yang melahirkan sampai empat anak hasil kekerasan seksual. Bahkan ada bayi yang meninggal karena ketiadaan makanan. Maria dan teman-temannya mengenang masa konflik dengan tawa kepahitan. Bagaimana mereka bertahan hidup dengan mengonsumsi urine kuda atau minum air yang ditakar setara wine.
“Buat saya ini adalah film yang sangat emosional. Intinya dari film ini saya ingin bicara tentang perempuan yang tidak hanya berpusat pada konflik, juga perspektifnya. Saya ingin penonton tahu latar belakang kehidupan para pemain, peran mereka di lingkungan sosial dan budayanya,” ujar Kamila.
Di akhir diskusi, Hera menyampaikan perempuan yang berdaya itu perempuan yang mandiri, memiliki otoritas atas hidup dan tubuhnya. Sementara dalam pandangan Kamila, perempuan yang berdaya itu perempuan yang punya suara atas dirinya sendiri, bisa menentukan pilihannya sendiri, dan yakin atas pemikirannya sendiri. Penting juga melihat porsi perempuan di agama atau budayanya sendiri. Melewati itu semua bukan hal yang mudah untuk perempuan di Indonesia. “Harus dilihat di lingkungan, budaya, atau ruang sosial seperti apa dia tumbuh. Kadang-kadang keberdayaan itu bukan tidak ada, tapi tertutupi,” kata Kamila.