Mohon tunggu...
Ignasia Kijm
Ignasia Kijm Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Senang mempelajari banyak hal. Hobi membaca. Saat ini sedang mengasah kemampuan menulis dan berbisnis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

FFPI 2016, Alternatif Menjadi Manusia Kembali

26 Januari 2017   17:56 Diperbarui: 26 Januari 2017   18:33 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari 10 tahun terakhir beredar anggapan film pendek Jakarta selalu lebih baik dari film pendek luar Jakarta. Sesungguhnya itu mitos yang tidak benar.

Pernyataan tersebut disampaikan salah satu juri Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016 Makbul Mubarak. Di tahun ketiga penyelenggaraannya FFPI 2016 mengangkat tema humanisme. Menurut pengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) tersebut, humanisme adalah  isu yang mampu diucapkan semua orang. Namun  belum tentu bisa diartikan secara otentik.

Para  juri mencari  filmmaker yang menawarkan perspektif segar mengenai manusia. “Film finalis  FFPI 2016  punya kesamaan, yakni memberikan  alternatif bagaimana rasanya menjadi manusia kembali. Itu pertanyaan yang sangat berat. Mengejutkan karena bisa dijawab,” ujar Makbul pada final  FFPI 2016 tanggal 20 Januari 2017 di Bentara Budaya Jakarta.

Dalam kesempatan tersebut Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi   memberikan selamat kepada 10 finalis yang sangat berprestasi di dunia perfilman. Mereka terpilih di antara 276  peserta. Rosi, demikian sapaannya, mengucapkan terima kasih kepada UMN yang selama ini  selalu bersemangat melahirkan sineas-sineas baru yang membawa nama harum Indonesia di dunia. 

Apa kaitannya Kompas TV sebagai televisi berita berkomitmen pada film pendek sehingga mengadakan FFPI 2016? Menurut Rosi, sederhana saja, film adalah cerminan masyarakat. Melalui film bangsa ini dikenal di seluruh dunia dan masyarakat mengenal satu sama lain. Karena itu Kompas TV, inspirasi Indonesia tidak hanya  punya kewajiban untuk mempublikasikan berita-berita yang akurat. “Andalah yang terbaik,” tutur Rosi di hadapan para finalis FFPI 2016.

Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi menyerahkan plakat kepada Makbul Mubarak dari UMN
Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi menyerahkan plakat kepada Makbul Mubarak dari UMN
“Dua hari ini benar-benar mengubah pandangan gue. Sekolah ini tidak seburuk yang gue kira. Gue beruntung menemukan orang-orang yang tidak menjadikan perbedaan suku, agama, ras, atau budaya sebagai alat diskriminasi terhadap minoritas. Perbedaan-perbedaan yang ada dijadikan saksi atas keragaman bangsa karena pelangi tidak akan menjadi pelangi kalau hanya satu warna.”Demikian perkataan Aling, tokoh utama dalam film 2 Hari karya pelajar SMA Negeri 1 Muara Enim Palembang.

Salah satu adegan dalam film tersebut menampilkan Aling yang cukup terkejut dengan Kantin Kejujuran. Siswa cukup meletakkan uang dalam kotak untuk setiap barang yang dibeli. Tak adanya penjaga bertujuan  melatih kejujuran para siswa. Adegan lainnya memperlihatkan Reyhan yang membersihkan halaman sekolah bersama siswa lainnya yang terlambat. Walaupun ayahnya adalah orang paling kaya di kota itu, tidak ada perbedaan perlakuan. Aling sebagai siswa SMA yang baru pindah dari Jakarta ke Palembang terpana menyaksikan hal itu.

Mbah Djoyokardi tinggal bersama Indah, putri angkatnya yang berusia 12 tahun di sebuah gubuk reyot. Ketiadaan biaya dan  intelektual yang tidak memadai membuat Indah tidak bersekolah. Hanya bermain bersama anak-anak yang usianya jauh lebih muda. Istri Mbah Djoyokardi  meninggal tiga tahun lampau akibat diabetes. Tanah  dan rumahnya telah dijual untuk biaya pengobatan. Dari tujuh anak kandung, hanya satu anak yang  menengok kakek berusia 83 tahun itu. Ekonomi si anak pun belum mapan.

Walaupun hidup di bawah garis kemiskinan,  Mbah Djoyokardi  merawat dan mendidik Indah dengan keikhlasan dan kasih sayang yang luar biasa. Tanpa pamrih, tanpa imbalan apapun. Tidak ada yang membantu. Beliau menjadi pahlawan bagi Indah. Seperti itu tetangga menilainya. Begitu gambaran film Mata Hati Djoyokardi karya pelajar SMA Khadijah Surabaya.

Jembatan bambu yang dibangun warga tahun 2013 kini rubuh. Keadaan tersebut memaksa para siswa harus menuruni gunung, melewati sungai untuk menempuh SD Negeri 1 Batu Putuk selama satu jam. Saat banjir, sungai itu tidak bisa dilewati. Medan  yang buruk harus ditempuh para siswa untuk menuntut ilmu. Desa Kihung dihuni  55 KK dengan jumlah 105 jiwa. Mereka berdagang dan berkebun. Mayoritas warga  mengolah kolang kaling untuk memenuhi kebutuhan di Bandar Lampung. Warga berharap pemerintah membangun jembatan sehingga para siswa tidak perlu menapaki jalan menikung, itulah pesan film Kihung (Jalan Menikung) karya pelajar SMK Negeri 5 Bandar Lampung.

Potensi Lokal

Film Izinkan Saya Menikahinya karya pelajar SMA Rembang Purbalingga dibuat atas dasar ekstrakurikuler sinematografi. Awal tahun 2015 sedang hangat-hangatnya isu ‘65 dengan film Pulau Buru Tanah Air Beta. Isu itu memantik siswa SMA Rembang. Pasalnya Purbalingga adalah  kota lahirnya Jenderal Soedirman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun