Lebih dari 10 tahun terakhir beredar anggapan film pendek Jakarta selalu lebih baik dari film pendek luar Jakarta. Sesungguhnya itu mitos yang tidak benar.
Pernyataan tersebut disampaikan salah satu juri Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) 2016 Makbul Mubarak. Di tahun ketiga penyelenggaraannya FFPI 2016 mengangkat tema humanisme. Menurut pengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) tersebut, humanisme adalah isu yang mampu diucapkan semua orang. Namun belum tentu bisa diartikan secara otentik.
Para juri mencari filmmaker yang menawarkan perspektif segar mengenai manusia. “Film finalis FFPI 2016 punya kesamaan, yakni memberikan alternatif bagaimana rasanya menjadi manusia kembali. Itu pertanyaan yang sangat berat. Mengejutkan karena bisa dijawab,” ujar Makbul pada final FFPI 2016 tanggal 20 Januari 2017 di Bentara Budaya Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi memberikan selamat kepada 10 finalis yang sangat berprestasi di dunia perfilman. Mereka terpilih di antara 276 peserta. Rosi, demikian sapaannya, mengucapkan terima kasih kepada UMN yang selama ini selalu bersemangat melahirkan sineas-sineas baru yang membawa nama harum Indonesia di dunia.
Apa kaitannya Kompas TV sebagai televisi berita berkomitmen pada film pendek sehingga mengadakan FFPI 2016? Menurut Rosi, sederhana saja, film adalah cerminan masyarakat. Melalui film bangsa ini dikenal di seluruh dunia dan masyarakat mengenal satu sama lain. Karena itu Kompas TV, inspirasi Indonesia tidak hanya punya kewajiban untuk mempublikasikan berita-berita yang akurat. “Andalah yang terbaik,” tutur Rosi di hadapan para finalis FFPI 2016.
Salah satu adegan dalam film tersebut menampilkan Aling yang cukup terkejut dengan Kantin Kejujuran. Siswa cukup meletakkan uang dalam kotak untuk setiap barang yang dibeli. Tak adanya penjaga bertujuan melatih kejujuran para siswa. Adegan lainnya memperlihatkan Reyhan yang membersihkan halaman sekolah bersama siswa lainnya yang terlambat. Walaupun ayahnya adalah orang paling kaya di kota itu, tidak ada perbedaan perlakuan. Aling sebagai siswa SMA yang baru pindah dari Jakarta ke Palembang terpana menyaksikan hal itu.
Mbah Djoyokardi tinggal bersama Indah, putri angkatnya yang berusia 12 tahun di sebuah gubuk reyot. Ketiadaan biaya dan intelektual yang tidak memadai membuat Indah tidak bersekolah. Hanya bermain bersama anak-anak yang usianya jauh lebih muda. Istri Mbah Djoyokardi meninggal tiga tahun lampau akibat diabetes. Tanah dan rumahnya telah dijual untuk biaya pengobatan. Dari tujuh anak kandung, hanya satu anak yang menengok kakek berusia 83 tahun itu. Ekonomi si anak pun belum mapan.
Walaupun hidup di bawah garis kemiskinan, Mbah Djoyokardi merawat dan mendidik Indah dengan keikhlasan dan kasih sayang yang luar biasa. Tanpa pamrih, tanpa imbalan apapun. Tidak ada yang membantu. Beliau menjadi pahlawan bagi Indah. Seperti itu tetangga menilainya. Begitu gambaran film Mata Hati Djoyokardi karya pelajar SMA Khadijah Surabaya.
Jembatan bambu yang dibangun warga tahun 2013 kini rubuh. Keadaan tersebut memaksa para siswa harus menuruni gunung, melewati sungai untuk menempuh SD Negeri 1 Batu Putuk selama satu jam. Saat banjir, sungai itu tidak bisa dilewati. Medan yang buruk harus ditempuh para siswa untuk menuntut ilmu. Desa Kihung dihuni 55 KK dengan jumlah 105 jiwa. Mereka berdagang dan berkebun. Mayoritas warga mengolah kolang kaling untuk memenuhi kebutuhan di Bandar Lampung. Warga berharap pemerintah membangun jembatan sehingga para siswa tidak perlu menapaki jalan menikung, itulah pesan film Kihung (Jalan Menikung) karya pelajar SMK Negeri 5 Bandar Lampung.
Potensi Lokal
Film Izinkan Saya Menikahinya karya pelajar SMA Rembang Purbalingga dibuat atas dasar ekstrakurikuler sinematografi. Awal tahun 2015 sedang hangat-hangatnya isu ‘65 dengan film Pulau Buru Tanah Air Beta. Isu itu memantik siswa SMA Rembang. Pasalnya Purbalingga adalah kota lahirnya Jenderal Soedirman.
Mereka berdiskusi dan membaca koran. Dilanjutkan pertemuan dengan empat tokoh eks-Cakrabirawa yang terlibat dalam peristiwa ‘65. Salah satu tokoh bercerita, cucunya tidak bisa menikah dengan anggota militer karena latar belakang kakeknya. Fakta itu mendasari lahirnya film Izinkan Saya Menikahinya. Penggunaan bahasa Ngapak Banyumasan dalam film merupakan komitmen para siswa sejak awal guna mengangkat potensi lokal.
Filmmaker Terminal karya pelajar SMK Negeri 2 Kuripan NTB mengangkat sudut pandang yang berbeda. Selama ini terminal diidentikkan dengan kejahatan. Namun ada sisi kemanusiaan seperti berbagi. Itu yang menjadi titik utama. Film Terminal yang mengambil lokasi di Terminal Mandalika mengisahkan seorang pria yang hendak bertolak ke Surabaya. Ia lupa membawa tas saat berjalan menuju bus. Pencopet segera beraksi. Akan tetapi aksinya dihadang pengamen cilik. Film berakhir dengan tas yang dikembalikan pengamen ke si empunya.
Selain itu perubahan warna pada pria saat memainkan gitar menggambarkan setiap orang dari status sosial manapun memiliki cara yang berbeda-beda untuk berbahagia dan membahagiakan orang lain. Sementara itu mobil yang malang-melintang melambangkan penghalang itu sebenarnya dari diri sendiri, bukan dari lingkungan sekitar.
“Kehidupan tidak hanya menapak pada daratan, di laut banyak kehidupan yang di dalamnya masih bisa diungkap. Dari kisah ini akan disajikan fenomena kehidupan anak manusia yang masih sangat mengagumi kehidupan laut. Dari laut semua berawal. Kehidupan nelayan kecil di pinggiran ibukota sampai keseharian mereka mencari sebuah penghidupan. ”Prolog tersebut terdengar dari film Mereguk Asa di Teluk Jakarta karya mahasiswa Universitas Negeri Jakarta.Film tersebut mengangkat kehidupan para nelayan yang tinggal di perahu, dikenal dengan sebutan manusia perahu. Di dalam perahu dengan kondisi mengenaskan itu mereka melakukan berbagai aktivitas. Tak jarang masalah ekonomi, sosial, dan keluarga mewarnai.
Para nelayan pendatang tersebut sebenarnya ingin tinggal di rumah. Namun terhalang oleh ketiadaan KTP DKI Jakarta. Pesan yang ingin disampaikan adalah mengkritik kepedulian sosial kita. Ternyata di sudut Jakarta yang menawarkan pesona tersimpan banyak masalah klasik. Jakarta tidak semewah yang kita pikirkan. Masalah tersebut ingin diperlihatkan kepada penikmat film.
“Aku adalah pengamen di jalanan, aku bernyanyi untuk mencari makan. Jangan samakan kami dengan preman. Kami bukanlah pembuat keributan.” Lagu tersebut menandai berakhirnya film I Love Me. Film karya mahasiswa Institut Kesenian Jakarta tersebut mengisahkan seorang perempuan dari kelas menengah yang hobi mengamati media sosial, yaitu Instagram. Ia jenuh dengan foto teman-temannya yang dipenuhi hura-hura. Perempuan itu menyusuri jalan. Ia memotret fenomena, sisi lain Jakarta yang tidak pernah atau jarang disentuh orang, diantaranya pengamen cilik.
Film Omah karya mahasiswa Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta menampilkan percakapan fiksi antara ayah dan anak laki-lakinya bernama Agus. Sang ayah membujuknya pulang menemui ibunya setelah tiga tahun berkelana.
Namun bagi Agus kehadirannya cukup diwakilkan oleh uang yang dikirimkan setiap bulan. Agus menyinggung ayahnya yang kerap meninggalkannya saat kecil karena bekerja sebagai sopir. ‘Kalau kamu sudah jadi orangtua akan merasakan sendiri repotnya mengurus keluarga’, demikian pesan sang ayah. ‘Salam untuk ibumu, gue turut berduka cita,’ ucapan itu dilayangkan teman Agus kepadanya saat ia meninggalkan warung kopi.
Bangun, menyikat gigi, bersiap-siap ke kampus. Semua aktivitas itu terus melibatkan mata dan jari yang sibuk menari di atas smartphone. Demikian penggalan hidup seorang mahasiswa yang tinggal di sebuah kost bersama teman-temannya dalam film Di Ujung Jari. Mereka gemar mengunggah foto kemanusiaan di media sosial. Sebaliknya dalam keseharian tak peduli akan keadaan sekitar. Kebersamaan dengan teman hanya sesaat. Masing-masing sibuk dengan dunia maya. Film karya mahasiswa Universitas Bina Nusantara itu ingin memberi pesan, ‘berhenti hanya posting, mulailah bertindak’.
Menyampaikan Gagasan
Juri lainnya Ifa Isfansyah menyatakan 10 film tersebut telah lolos seleksi secara teknis dari segi orisinalitas, tema, dan durasi. Beberapa item yang digunakan untuk memudahkan proses di awal penjurian, antara lain bagaimana perspektif tema itu dilihat, bagaimana eksekusi film itu, bagaimana menyampaikan gagasan. “Apakah unsur-unsur dalam film itu tepat dengan gagasan, bagaimana unsur-unsur itu saling mengisi,” kata Ifa, sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia 2011.
Sebab misteri tentang perempuan selalu menarik untuk difilmkan. Bahkan banyak sutradara laki-laki yang membuat film dengan tema perempuan. Tak jarang mendapat penghargaan dalam festival film. Seharusnya yang diperhatikan adalah sedikitnya film maskulin. “Dunia laki-laki justru terhimpit,” tutur Ifa yang menyelesaikan studi di jurusan Televisi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Di akhir acara diumumkan pemenang FFPI 2016, saat yang ditunggu-tunggu para finalis. Pemenang untuk kategori pelajar, masing-masing mendapatkan uang Rp 8 juta, Rp 6 juta, dan Rp 4 juta serta voucher menginap di Hotel Amaris, yaitu film Izinkan Saya Menikahinya, film Mata Hati Djoyokardi, dan film Terminal. Sementara pemenang untuk kategori mahasiswa, masing-masing mendapatkan Rp 10 juta, Rp 8 juta, dan Rp 6 juta serta voucher menginap di Hotel Santika, yaitu film I Love Me, film Different, dan film Mereguk Asa di Teluk Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H