Siapa bilang perang harus di tanah lapang atau di hutan. Siapa bilang perang harus menggunakan ‘bambu runcing’, senjata, alat berat dan ranjau.
Di era yang serba canggih, tentu pengunaan teknologi tak lepas di tiap-tiap sendi aktivitas kita. Siapa sih yang tak punya smartphone di era sekarang ini, bahkan anak kecil saja sudah pandai mengoperasikan gadget.
Penggunaan teknologi terkini tentu membawa dampak tersendiri baik dari sisi positif dan negatifnya. Positifnya, tentu ya bicara soal efektivitas dan efisiensi. Misal, yang dulu harus beli koran atau menonton TV untuk update berita, sekarang tinggal buka Smartphone. Tak perlu kabel, dapat diakses dimana saja, kapan saja. Efektif dan efisien, bukan?
Bagaimana soal dampak negatifnya? Dari segi kesehatan misalnya, penggunaan teknologi seperti media elektronik dapat berdampak pada kesehatan akibat efek radiasi, kelelahan penglihatan, insomnia dst. Ah! Tapi aku tidak ingin bicarakan lebih dalam dari segi kesehatan ya. Karena menurutku, dampak yang lebih ‘mengerikan’ adalah dampak sosialnya.
Tahukah Anda? Boss Google dan Apple pun lebih senang anaknya bermain tanah daripada smartphone. Karena mereka tahu kapan waktu yang tepat untuk memperkenalkan teknologi kepada anak-anaknya, sehingga anak-anak tidak kehilangan dunia bermainnya dan lebih mengenal lingkungan sosial sekitar.
Ya! Selain anak-anak, orang dewasa pun dapat menjadi korban kemajuan teknologi. Aku yakin Anda pernah dengar seseorang yang menghabiskan sepanjang waktunya di warnet. Anda juga pernah melihat seseorang berkendara tapi juga asik mengetik SMS bahkan update status.
Kok makin lama ‘gak nyambung’ dengan topik ya? Hehehe…sorry broth
Soal perang masa kini, apakah Anda pernah dengar proxy war? Ada yang bilang ini adalah perang boneka, artinya yang bermain disini adalah pihak ketiga (boneka) atau mungkin yang disebut antek asing kali ya. Lalu apakah Anda pernah dengar perang asimetris? Ada yang bilang ini adalah perang non militer, misalnya dengan melemahkan sistem ketatanegaraan, ideologi dan ketahanan pangan-energi. Sepertinya kedua definisi ini saling berhubungan ya.
Apabila bicara perang, kita tak mungkin tak mendengar soal ketegangan di TimTeng. Di sanalah tidur nyenyak begitu mahal harganya. Penembakan dan pengeboman tak ada henti-hentinya. Di sanalah perang dengan senjata, fisik bertemu fisik. Sebagai akibat, ribuan orang pun beramai-ramai migrasi mencari perlindungan ke tanah Eropa. Begitu beruntungnya kita yang tinggal di Indonesia. Eitsss, jangan gembira dulu.
KSAD telah gembor-gemborkan bahwa warga Indonesia harus lebih hati-hati dan waspada. Sekarang tidak jamannya lagi perang senajata, melainkan perang ideologi. Orang-orang kita dicuci otaknya untuk membela kepentingan asing lewat antek-anteknya. Menurut Kasad, latar belakang konflik masa kini telah berubah dari memperebutkan energi tak terbarukan seperti migas menjadi memperebutkan pangan, air dan energi hayati. Sementara, lokasi konflik kini bergeser ke garis ekuator, dimana banyak terdapat kekayaan hayati di dunia, misalnya Negara-negara Asia-Afrika. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di daerah equator dengan kekayaan alam yang melimpah, tentunya menjadi sasaran utama perebutan bangsa asing di masa yang akan datang. “Inilah ancaman nyata bagi Bangsa Indonesia,” tegas Kasad.
Di lain kesempatan, Panglima TNI mengatakan, "Munculnya referendum di Timor Timur adalah contoh proxy war yang nyata”.