Tradisi memaknai kemerdekaan dalam mengingat jasa pahlawan tidak bisa dipisahkan dengan momen perayaan lomba yang meriah seperti panjat pinang, makan kerupuk, balap karung, sepeda hias, jalan sehat, lomba kebersihan, memakai kostum pahlawan atau bentuk penghormatan dengan memasang bendera, memasang foto pahlawan, mengecat jalan dan dinding, seperti yang biasa dilakukan di daerah tempat tinggal atau instansi, sebaiknya tidak hanya bentuk rutinitas yang bersifat simbolis saja tapi berkontemplasi melalui kegiatan dengan melibatkan daya pikir, karena mengingat perjuangan para pahlawan yang telah gugur rela mempertaruhkan nyawa dan darah demi merebut kemerdekaan dan mempertahankan jati diri bangsa.
Selain merayakan tradisi yang bersifat hiburan dan bersenang-senang, juga menyadari apa makna pelajaran sejarah yang bisa diambil. Olah pikir menghasilkan sebuah peradaban. Menurut Tan Malaka,
Kematian sejatinya bukan semalam tanpa makan, tapi sehari tanpa berpikir
Jadi, betapa lebih pentingnya memberi asupan untuk akal dan pikiran yang dianugerahkan oleh Tuhan, selain memberi asupan makan untuk tubuh.
Salah satu contoh lomba warisan kolonial adalah panjat pinang, yang dalam sejarahnya digunakan sebagai hiburan dan lelucon penjajah pada masa itu. Penjajah merasa terhibur dan bertepuk tangan melihat kaum pribumi saling menindas satu sama lain demi memperebutkan hadiah yang dianggap mewah saat itu. Padahal barang yang diperebutkan adalah hasil dari negeri sendiri. Lomba fisik memang seru, punya nilai kebersamaan ketangkasan, motorik, dan lain sebagainya. Bukan berniat menghilangkan lomba warisan kolonial yang sudah terlanjur menjadi tradisi, tapi memperhatikan sisi lain maksud dibalik itu yang ternyata ada unsur intimidasi atau mentalitas budak.
Tradisi warisan kolonial yang sudah terlanjur membudaya bisa diasimilasi dengan kegiatan yang mengandung nilai luhur dalam mencerminkan arti kemerdekaan dan jati diri bangsa untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa serta tidak menganggap apa yang sudah diwariskan dianggap sebagai milik semata wayang, tanpa melihat sejarah, nilai yang terkandung didalamnya. Bukan hanya budaya copy paste dan tinggal meneruskan apa yang ada, tapi dimodifikasi dengan nilai inovasi, kemandirian, berdikari, dan lain sebagainya. Jadi tidak sekedar hiburan, karena itu perlu mempelajari sejarah dan mengenal budaya.
Sah saja relevansi hari kemerdekaan dengan lomba dan hadiah tapi juga perlu melihat makna kemerdekaan jauh lebih dalam karena untuk memperoleh kemerdekaan perlu perjuangan. Belajar sejarah dan arti kemerdekaannya tidak hanya antusiasme simbolisasi, pekikan kemerdekaan, hanya dikenang sebagai kemeriahan lomba, karena kalau tidak meriah memang seakan tidak seru, hambar tapi hal yang bersifat sunyi dan perenungan seakan tampak bersifat kering.
Selain menonton film sejarah, lomba puisi, atau upacara khidmat yang biasa dilakukan di lembaga atau instansi, bisa diimbangi lomba atau kegiatan bervariasi yang berbobot seperti diskusi, literasi, pameran seni, mengunjungi tempat bersejarah atau museum. Memang masih sedikit peminat, belum terbiasa, hal berpikir dianggap hal sulit, yang biasanya diperuntukkan di kalangan akademisi atau tertentu tapi paling tidak bisa diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat dengan menyelingi hari kemerdekaan dengan hiburan yang punya nilai edukasi dan esensi dengan menyesuaikan konteks atau tantangan dan perkembangan zaman saat ini.
Oleh karena itu diperlukan sistem pendidikan yang baik dan alokasi pendidikan yang adil dan merata serta tepat sasaran agar nantinya bisa membentuk generasi penerus bangsa yang harapannya bisa menemukan kesenangan dalam hal yang bersifat berpikir, mengolah rasa, memiliki kemerdekaan berpikir tidak hanya mengandalkan hiburan dan rutinitas semata tapi tujuannya adalah berpikir dan menyadari apa yang sebenarnya memerangi dan menjajah bangsa Indonesia saat ini. Tidak semua warisan kolonial buruk, ada nilai baik yang perlu dilestarikan tapi nilai buruk perlu dikritisi. Jadi, tidak hanya mengandalkan warisan kolonial tapi bisa mengkritisinya.
Pentingnya membiasakan ruang untuk mengasah daya pikir di momen hari kemerdekaan agar tidak mudah terbawa arus dan terprovokasi. Para tokoh pahlawan kemerdekaan dalam melawan penjajah, selain dengan fisik dan senjata juga melawan melalui akal dan pikiran, karena sebelum perang pun ada strategi, politik, perlawanan melalui tulisan, dan hal yang bersifat intelektual dalam melawan penjajah.
Melihat perayaan hari kemerdekaan yang dirayakan, namun secara bersamaan dihadapkan pada kondisi negara yang masih dibawah garis kemiskinan, kenaikan angka kelaparan, pengangguran, maraknya korupsi, impor bahan pangan, dan lain sebagainya. Sungguh miris bila dikaitkan dengan makna kemerdekaan yang ternyata kontradiktif dengan kenyataan. Terlebih lagi kondisi beberapa museum yang punya nilai sejarah tapi kurang menjadi perhatian apalagi budaya Indonesia lebih dipedulikan oleh bangsa asing daripada bangsa sendiri. Kemajuan pembangunan demi segelintir orang, sebaliknya rakyat mengalami penderitaan akibat tanah hutan dibabat habis oleh kezaliman rezim. Bung karno pernah mengingatkan bahwa
Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri
Perjuangan yang ditempuh oleh para pahlawan kemerdekaan tak luput dari peristiwa yang kelam dan memprihatinkan seperti pengasingan, penyiksaan, masuk penjara, gugur dalam medan perang dan lain sebagainya. Mereka juga manusia biasa yang berjuang dan rela berkorban demi kemerdekaan bersama serta punya harapan besar akan kemerdekaan, yang berawal dari tekad individu kemudian kelompok yang membawa pengaruh semangat nasionalisme pada bangsa. Mensyukuri hasil kemerdekaan, tapi tidak terjebak romantisme kepahlawanan di hari perayaan kemerdekaan karena generasi saat ini adalah generasi penerus perjuangan dari generasi sebelumnya. Setiap manusia adalah pahlawan, jadilah pahlawan mu sendiri.