Mohon tunggu...
Christopher Matthew
Christopher Matthew Mohon Tunggu... Ahli Gizi - pekerja

pekerja

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menemukan Kebahagiaan Sejati dalam Kesederhanaan : Pelajaran Hidup di Pesantren

17 November 2024   21:00 Diperbarui: 23 November 2024   06:58 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sederhana itu seperti hujan yang turun
di tanah yang kering,
yang membuat rerumputan hijau kembali tumbuh.
Sederhana itu seperti mentari yang terbit
di pagi yang cerah,
memberikan harapan untuk hari yang baru.
Sederhana itu tidak perlu banyak kata,
cukup hati yang tulus dan mata yang jernih. (Taufiq Ismail)

Ekskursi tiga hari di Pondok Pesantren Muhammadiyah Amanah, Tasikmalaya, menjadi pengalaman yang berharga dan penuh makna. Sebagai pelajar Katolik dari lingkungan perkotaan, awalnya saya merasa gugup. Akankah saya diterima dengan baik? Bagaimana saya akan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang jauh dari keseharian saya? Keraguan ini lenyap seketika begitu saya disambut dengan kehangatan oleh para santri. Hari-hari di pesantren diisi dengan aktivitas yang sederhana namun penuh nilai, seperti salat berjamaah, mengaji, belajar, hingga makan bersama. Kehidupan yang tampak biasa ini justru memberi pelajaran mendalam tentang arti kebahagiaan yang sejati.                                                               

Kehidupan di pesantren berbeda jauh dari apa yang biasa saya temui di kota besar. Di kota, teknologi dan kemewahan sering menjadi tolok ukur kebahagiaan. Namun di pesantren, kesederhanaan dan rasa syukur menjadi kunci kehidupan. Saat makan bersama, para santri menikmati nasi, sayur, dan sambal dengan tulus tanpa keluhan. Hal ini sangat kontras dengan kebiasaan saya yang sering mengeluh jika makanan tidak sesuai selera. Penelitian dari Greater Good Science Center di University of California mengungkapkan bahwa rasa syukur mampu meningkatkan kesejahteraan mental dan hubungan sosial. Kehidupan di pesantren menunjukkan bagaimana hal ini diterapkan secara nyata.

Salah satu momen yang paling berkesan adalah saat mendaki gunung bersama para santri di hari kedua. Jalur pendakian yang berat dan melelahkan menjadi pengingat bahwa kebahagiaan memerlukan perjuangan. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang mimpi dan cita-cita. Saya terkesan dengan semangat mereka yang tinggi meskipun hidup dalam keterbatasan. Ketika mencapai puncak, kami menikmati makanan sederhana yang dibawa dari pesantren. Dalam momen itu, saya belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari kemewahan, tetapi dari cara kita mensyukuri apa yang kita miliki.

Kesederhanaan yang saya pelajari di pesantren dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, mengurangi ketergantungan pada teknologi saat makan bersama keluarga. Hal ini sederhana tetapi efektif untuk mempererat hubungan. Dalam buku Flourish, Martin Seligman juga menjelaskan pentingnya rasa syukur dan interaksi sosial dalam menciptakan kebahagiaan yang berkelanjutan. Pesantren mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak harus dicari di luar, tetapi bisa ditemukan di sekitar kita jika kita mau melihatnya dengan hati yang terbuka.

Menurut pandangan saya, masyarakat modern perlu mengambil pelajaran dari kehidupan pesantren. Di tengah gaya hidup yang serba cepat dan materialistis, nilai-nilai kesederhanaan memberikan alternatif yang menenangkan. Kesederhanaan tidak berarti menyerah pada keterbatasan, tetapi justru menjadi cara untuk menghargai yang kita miliki. Mahatma Gandhi pernah berkata, “Kesederhanaan adalah jalan menuju kedamaian.” Pernyataan ini sangat relevan di era saat ini, ketika banyak orang merasa stres karena terus-menerus mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Hidup ini seperti mendaki gunung. Setiap langkah terasa berat, tetapi pemandangan di puncak selalu sepadan dengan usaha. Begitu pula dengan kebahagiaan—ia tidak datang dengan instan, melainkan melalui proses yang penuh perjuangan dan rasa syukur. Pengalaman di pesantren mengajarkan saya bahwa langkah kecil seperti menghargai makanan atau berbagi cerita dengan orang lain adalah cara sederhana untuk mencapai kebahagiaan yang lebih besar.

Hari terakhir di pesantren penuh dengan kehangatan. Kami berpamitan dengan para santri dan ustaz. Ada senyum di wajah mereka, tetapi juga rasa haru yang tidak bisa disembunyikan. Kami mengabadikan momen itu dengan berfoto bersama, simbol dari persahabatan lintas iman dan budaya. Suasana pesantren yang tenang, lantunan doa yang mengalun di udara, dan cahaya matahari pagi yang menyinari halaman masjid menciptakan suasana yang begitu damai. Setiap sudut pesantren terasa seperti rumah kedua, tempat di mana saya menemukan arti baru dari kebahagiaan dan kesederhanaan.

Albert Einstein pernah berkata, “Hidup ini seperti mengendarai sepeda. Untuk menjaga keseimbangan, Anda harus terus bergerak.” Pengalaman di pesantren menjadi pengingat bagi saya untuk terus bergerak maju dengan rasa syukur dan kesederhanaan sebagai pedoman.Saya mengajak pembaca untuk merenung: sudahkah kita bersyukur atas apa yang kita miliki? Dalam hiruk-pikuk kehidupan modern, mungkin kita lupa bahwa kebahagiaan tidak terletak pada apa yang kita kejar, tetapi pada apa yang sudah ada di depan mata.“Kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi.” Motto ini mengajarkan bahwa hidup sederhana tidak berarti hidup dalam keterbatasan, tetapi hidup dengan penuh rasa syukur dan makna. Pesantren Muhammadiyah Amanah telah mengajarkan saya pelajaran ini, dan saya berharap nilai-nilai tersebut dapat menginspirasi kita semua untuk hidup dengan lebih bijaksana.Ekskursi ini adalah perjalanan fisik sekaligus perjalanan hati. Pelajaran tentang kebahagiaan, rasa syukur, dan kesederhanaan tidak hanya akan saya bawa pulang tetapi juga saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga pengalaman ini menjadi titik awal bagi saya, dan mungkin juga bagi Anda, untuk menjalani hidup dengan perspektif yang lebih dalam dan bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun