Medan, 11 Oktober 2014. Kompasiana mengadakan kopdar nangkring bareng Bank Indonesia Medan membahas tema SSK (Stabilitas Sistem Keuangan). Bertujuan mengajak masyarakat lebih mengenal dan memahami tidaklah spenuhnya tanggungjawab pemerintah menjaga SSK dalam negeri.
[caption id="attachment_336935" align="aligncenter" width="300" caption="dok.pribadi "][/caption]
Adalah Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pemerintah tertinggi bidang keuangan yang bertanggung jawab atas perputaran uang di Indonesia. Tak hanya bertanggung jawab, mereka mengatur, menjaga, mengawasi sekaligus menjadi pengaman kelancaran sistem segala transaksi dalam negeri.
Pengawasan (surveillance) dilakukan melalui kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Kebijakan makroprudensial versi IMF (International Monetary Fund) adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (IMF, Macroprudential Policy: An Organizing Framework, 2011). Resiko sistemik adalah potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), dan keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality).
Sedangkan kebijakan mikroprudensial adalah kebijakan fokus pada individu lembaga keuangan melalui pemantauan dan penilaian terhadap kesehatan individu lembaga keuangan, perlindungan konsumen dan fokus pada resiko individual lembaga keuangan-bottom up.
Ya, intinya kebijakan mikroprudensial lebih mengarah kepada analisis perkembangan individu lembaga keuangan. Sedangkan kebijakan makroprudensial lebih mengarah kepada analisis sistem keuangan secara keseluruhan sebagai kumpulan dari individu lembaga keuangan.
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) memiliki dua elemen penting, yakni stabilitas harga dan stabilitas sektor keuangan. Apabila salah satu terganggu maka elemen lain akan terpengaruh. Gangguan pada sistem keuangan akan mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter dan tingkat harga secara umum. Dan SSK bukanlah merupakan target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Sistem keuangan yang tidak baik mengakibatkan perekonomian tidak efisien dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tidak tercapai (Indonesian Corporate Governance Banking Watch,2010).
-----
Stabilitas sistem keuangan dicapai apabila masyarakat sebagai pelaku ekonomi dengan bijak mempergunakan pendapatan demi konsumsi yang tak berlebihan. Sah sah saja apabila tiap individu bebas mengeluarkan cash-nya yang tak terbatas demi konsumsi per hari. Perlu diingat bahwa masih ada hari esok, terutama untuk biaya tak terduga. Hendaknya menyisihkan sedikit lebih baik untuk saving daripada tidak sama sekali. Akan lebih baik investasi dan deposito. Memperhatikan saldo tabungan bagi tiap individu tentu perlu dibandingkan kelak memikirkan jasa kredit di kemudian hari. Ini memang sulit sebab harga barang-barang kian meningkat. Pendapatan tetap, harga barang-barang cenderung semakin mahal. Akan tetapi konsumsi dan tabungan tentu hal yang lebih penting dipertimbangkan demi kelancaran stabilitas sistem keuangan pribadi. Paling tidak ya belanja di akhir bulan tidak perlu pusing memikirkannya.
Sistem keuangan yang stabil per tiap individu sudah menolong bagaimana nantinya kestabilan sistem keuangan negara. Bank Indonesia dan OJK tidak mungkin menahan secara langsung konsumsi kita, akan tetapi mereka sudah mampu memprediksi seberapa besar kecenderungan masyarakat mengeluarkan uang tunai untuk konsumsi per hari. Sebab jumlah uang beredar yang kian meningkat di masyarakat juga mengakibatkan inflasi. Inflasi ini yang nantinya meresahkan masyarakat sendiri.
Konsep sederhananya, apabila tiap individu/rumah tangga yang berpenghasilan tetap per bulan ingin menambah aset kendaraan, properti ataupun aset berharga lainnya tetapi tidak memiliki uang tunai, meskipun ada uang tunai namun tak sepenuhnya bisa dipergunakan untuk membeli salah satu bahkan beberapa aset berharga tersebut maka alternatifnya adalah menggunakan jasa kredit. Namun perlu dipertimbangkan bahwa apakah jasa kredit tersebut sudah cukup baik dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kita akan barang-barang mewah tersebut.
Mau tidak mau apabila pendapatan tak mampu mencukupi segala kebutuhan sudah pasti berhutang menjadi alternatif. Hutang adalah mengkonsumsi pendapatan kita di masa yang akan datang sedangkan investasi adalah menunda konsumsi kita sekarang untuk masa yang akan datang. Apabila aktivitas kredit di masyarakat meluas sebab bank-bank mengizinkan masyarakat untuk melakukan transaksi kredit maka ini mempengaruhi nilai tukar mata uang rupiah. Mengakibatkan instabilitas keuangan. Untuk mencegah ini, bank-bank sebagai penghimpun dana dan memberi layanan kredit kepada masyarakat harus dalam kondisi sehat agar mampu memproteksi diri dengan mencadangkan lebih banyak likuiditas. Dan si pemberi kredit (debitur) hendaknya cukup informasi tentang si peminjam (kreditur), si peminjam sebaiknya tidak dengan kualitas rendah (memiliki resiko kredit) karena nantinya akan melahirkan kredit yang bermasalah.
Hal yang menjadi perhatian karena ini sering terjadi di kalangan individu berpenghasilan menengah rata-rata masih belum cukup informasi tentang pemenuhan kebutuhan atas jasa kredit. Ini lebih kepada konsumsi berkaitan gaya hidup dan gengsi. Pendapatan yang tetap dan tidak bertambah setiap tahun namun konsumsi barang mewah di setiap tahun bertambah akan menimbulkan masalah saja di keuangan pribadi. Alternatifnya, mencari sumber pendapatan lain.
Bagi individu yang berprofesi sebagai pengusaha dengan penghasilan di atas rata-rata mengkonsumsi barang-barang mewah baik cash maupun credit tentu tak menjadi masalah. Pemerintah mengharapkan masyarakat lebih mengontrol konsumsi kredit agar tak mengganggu stabilitas keuangan pribadi yang utama. Ini mencegah instabilitas keuangan di dalam negeri. Sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi sebab memulihkan kembali keadaan setelah krisis jauh lebih sulit. Masih ingat dengan krisis global 2008? berawal dari negara Amerika Serikat karena dimulai dengan kredit macet perumahan di Amerika Serikat yang merupakan sentrum bagi perekonomian dunia. Mencegah lebih baik daripada harus mengembalikan keadaan ekonomi setelah resesi.
-----
Berbicara dengan hutang masyarakat (per individu) tentu dapat dikaitkan pula dengan hutang pemerintah. Kalau negara saja berhutang, apakah kita tak dibolehkan pula berhutang? Mengapa pemerintah melakukan pinjaman keluar negeri?
Dalam studi ekonomi, pengeluaran pemerintah yang berasal dari hutang negara memiliki multiplier effect. Banyak nilai manfaat yang didapat pemerintah dari modal pinjaman luar negeri. Memang, bertambahnya hutang luar negeri pemerintah maka bertambah pula pengeluaran pemerintah. Belanja pemerintah bertambah, bertujuan meningkatkan pendapatan pemerintah. Modal pinjaman luar negeri pemerintah tak selalu terdengar negatif. Pemerintah melakukan pinjaman demi menambah uang sakunya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Fokus pada pembangunan infrastruktur yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat dari segi fiskal dan meningkatkan likuiditas dari segi moneter. Asalkan pinjaman itu dimanfaatkan untuk hal yang lebih produktif tentu hutang luar negeri pemerintah tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi apakah realisasi ini sudah terlihat di Indonesia? Yang kita ketahui selama ini hutang luar negeri pemerintah semakin bertambah setiap tahun, namun infrastruktur dalam negeri pun belum merata. Semoga pemerintahan kali ini mampu mengatasi permasalahan tersebut. Sebab infrastruktur yang terjaga merupakan salah satu indikator pembangunan negara yang dikatakan berkembang.
-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H