Gus Dur telah dianggap sebagai Bapak sekulerisme Indonesia.
Banyak pengikutnya yang secara taklid mengikuti dan mematuhi pelbagai
ajaran Gus Dur tentang sekulerisme. Tak sedikit pula yang langsung naik darah jika
‘Bapa Suci’nya ini dikritik sedikit saja.
Tetapi, apakah sekulerisme itu sesungguhnya?
Dan siapa sajakah guru Gus Dur dalam memahami sekulerisme ?
Kami coba sedikit menjawab pertanyaan itu.
--------------------------
Filsuf-sosiolog Prancis Auguste Comte pada pertengahan abad ke-19 telah membayangkan adanya kebangunan ilmu dan keruntuhan agama, dan ia percaya bahwa menurut logika sekular perkembangan filsafat dan ilmu barat, masyarakat berevolusi dan berkembang dari tingkat primitif ke tingkat modern. Ia pun mengamati bahwa, ditilikdari aspek perkembangannya, metafisika adalah transisi dari theology ke ilmu pengetahuan. Dalam abad itu juga, filsuf-penyair Jerman Fiedrich nietzshe meramalkan melalui tokohnya Zarathustra bahwa – setidak-tidaknya untuk duniat Barat – Tuhan telah mati. Para filsuf, penyair dan pengarang Barat telah memperkirakan datangnya peristiwa itu dan menyambutnya sebagai persiapan akan tibanya suatu dunia yang “terbebaskan”, tanpa “Tuhan” dan tanpa “agama” sama sekali. Barangkali inilah yang melatarbelakangi timbulnya sekularisme dalam dunia barat. Karena agama dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan manusia pada saat itu.
Walaupun agama kristen pada mulanya lahir di Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini dimungkinkan sejak Kaisar Romawi, Konstantin yang agung (280-337), melegalisasi agama tersebut dalam wilayah imperiumnya serta mendorong penyebarannya sehingga merata di benua Eropa sampai sekarang hingga getarannya masih terasa hingga kini. Terutama di abad pertengahan, warna Kristiani menyelimuti kehidupan Barat, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya pada umumnya. Namun warna tersebut sejak akhir abad pertengahan mulai menipis, terus menipis hingga pertengahan abad ini. Warna Kristiani tersebut dapat dikatakan mulai menghilang dan diganti dengan warna lain yang amat kontras, inilah warna sekuler.
Sesuai warna baru tersebut, yang telah melenyapkan warna Kristiani secara bertahap oleh para ahli disebut sekularisme. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang itu, sekularisasi pernah terkristal dalam bentuk aliran dibidang etika dan filsafat yang disebut sekularisasi, yang pertama kali dirumuskan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906).
2.Pengertian Istilah Sekuler, Sekularisasi dan Sekularisme
A.Sekuler
Secara leksikologis, kata secular berasal dari bahasa Inggris yang berarti; yang bersifat duniawi, fana, temporal, yang tidak bersifat spiritual, abadi dan sacral, kehidupan diluar biara dan sebagainya. Sedangkan istilah sekuler yang berasal dari kata latin saeculum mempunyai arti ganda, ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Jadi kata saeculum berarti masa kini atau zaman kini. Dan masa kini atau zaman kini menunjuk pada peristiwa didunia ini, atau juga berarti peristiwa masa kini. Atau boleh dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan pada waktu atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai suatu proses sejarah.
Konotasi ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam konsep sekuler ini secara historis terlahirkan di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat pada Abad Pertengahan, telah terjadi langkah-langkah pemisahan antara hal yang menyangkut masalah agama dan non agama (bidang sekuler). Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19 diartikan bahwa kekuasaan Gereja tidak berhak campur tangan dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Pada waktu itu sudah ada yang menentang sekularisasi, misalnya Robertson dari Brighton, yang pada tahun 1863 mengatakan,”kita mengecap suatu bidang kehidupan sebagai sekuler, dan kemudian agama menjadi hal yang kabur dan tidak riil.
B.Sekularisasi
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrowi (akhirat). Sekularisasi, sebagaimana yang telah dikembangkan sejak Abad Pertengahan, menunjukan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat ilmiah, dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif.
Selanjutnya sekularisasi menurut Cornelis van Peursen seorang Theolog dari Belanda, didefinisikan sebagai pembebasan manusia”pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”. Itu berari “terlepasnya dunia dari pengertian-pengerian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci ‘defatalisasi sejarah’, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang ia perbuat dengannya ; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini.
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. Dengan demikian, manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.
Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merembes ke aspek kultural, karena proses tersebut menunjukan lenyapnya penentuan simbol-simbol integrasi kultural. Hal ini menunjukan proses historis yang terus menerus yang tidak dapat dibalikkan, dimana masyarakat semakin lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai spiritual dan pandangan metafisis yang tertutup. Al-Attas menyebutkan sebagai suatu perkembangan pembebasan dan hasil akhir dari sekularisasi adalah relativisme historis. Oleh karena itu proses sejarah juga sering dikatakan sebagai proses sekularisasi, yang menurut konsep seorang sosiolog Jerman Max Weber, dimaksudkan sebagai pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.
C.Sekularisme
Istilah sekularisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1846 oleh George Jacub Holyoake yang menyatakan bahwa schularism is an ethical system pounded on the principle of natural morality and in independent of reveald religion or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Jika sekularisasi menunjuk kepada suatu proses yang terjadi dalam pikiran orang seorang dalam kehidupan masyarakat dan negara maka sekularisme menunjuk kepada suatu aliran, paham, pandangan hidup, sistem atau sejenisnya yang dianut oleh individu atau masyarakat. H.M.Rasjidi mendefinisikan sekularisme sebagai berikut, Sekularisme adalah nama sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi interpretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada Tuhan, kitab suci dan hari kemudian.
Dalam kamus Al-Mu’jamAd-Dauliy Ats-Tsalits Al-Jadid menjelaskan kata ”secularism” sebagai berikut:
“Sebuah orientasi dalam kehidupan atau dalam urusan apapun secara khusus, yang berdiri diatas prinsip bahwa sesungguhnya agama atau istilah-istilah agama itu, wajib untuk tidak intervensi ke dalam pemerintahan. Dengan kata lain, sebuah orientasi yang membuang jauh-jauh makna dari istilah tersebut. Akhirnya, muncul pengertian seperti ini: hanya politik non agamais (Atheis) yang ada di dalam pemerintahan, yaitu sebuah sistem sosial dalam membentuk akhlak, dan sebagai pencetus atas pemikiran wajibnya menegakkan nilai-nilai moral dalam kehidupan modern dan dalam lingkup masyarakat sosial tanpa harus memandang agama”.
3.Tokoh sekularisme dan Latar Belakang Munculnya Sekularisme
A.Tokoh Sekularisme
Pendiri sekularisme adalah George Jacob Holyoake kelahiran Birmingham Inggris, anak pekerja kasar. Kendatipun pada mulanya berpendidikan agama, kehidupan remajanya yang diliputi dan ditempa oleh situasi sosial politik di tempat kelahirannya yang keras, sikap Holyoake berubah, dan akhirnya ia kembali terkenal karena sekularismenya. Perlu dicatat bahwa pada mulanya, sekularisme ini belum berupa aliran etika dan filsafat, melainkan hanya merupakan gerakan protes sosial dan politik.
B.Latar Belakang Munculnya Sekularisme
Sekularisme pertama kali muncul di Eropa. Tapi mulai diperhitungkan keberadaannya secara politis bersamaan dengan lahirnya revolusi Perancis tahun 1789 M. berkembang merata ke seluruh Eropa pada abad ke-19 M. kemudian tersebar lebih luas lagi ke berbagai negara di dunia, terutama dalam bidang politik dan pemerintahan, yang pada abad ke-20 M, dibawa oleh penjajah dan missionaris Kristen.
Muhammad Al-Bahy menjelaskan bahwa yang menimbulkan munculnya sekularisme:
-Yang mendorong terjadinya sekularisme pada abad ke-17 dan ke-18 adalah perebutan kekuasaan antara negara dan Gereja. Karena itu, pemisahan antara kedua kekuasaan itu adalah penanggulangan perselisihan baik secara legal atau filosofis.
-Yang mendorong sekularisme abad ke-19 adalah pembentukan kekuasaan. Karena itu, pengertian sekularisme tidak sama dengan paham pemisahan antara Gereja dan negara, akan tetapi semacam penghapusan paham dualisme dengan penghancuran agama sebagai awal mula untuk mencapai kekuasaan tersendiri, yaitu “kelompok Buruh” atau “sosial” atau “negara” atau “partai”.
-Penelitian terhadap alam dan kemajuan ilmu pengetahuan telah memberanikan kaum intelek sekuler untuk keluar dari wasiat atau dogma Gereja.
Sedangkan Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, bahwa sebab-sebab kemunculan sekularisme di dunia Barat Masehi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: faktor agama, pemikiran, psikologi, sejarah dan realitas kehidupan empiris.
1.Masehi menerima dikotomi kehidupan antara Tuhan dan Kaisar
Sesungguhnya didalam agama Masehi terdapat dalil-dalil yang mendukung ajaran sekularisme, atau pemisahan agama dan negara, ataupun antara pemerintahan spiritual dan pemerintahan dunia. Masehi mengakui dualisme kehidupan ini, ia membagi kehidupan itu menjadi dua bagian. Pertama, kehidupan untuk Kaisar dari satu pihak, yang tunduk kepada pemerintahan duniawi, atau pemerintahan negara. Kedua, kehidupan untuk Tuhan dari pihak lain, yang tunduk kepada kekuasaan spritual, yaitu berada dibawah pemerintahan Gereja.
Pembagian ini tergambar dengan jelas dalam perkataan Al-Masih a.s. seperti yang diriwayatkan oleh Injil: “berikanlah Kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan pula kepada Tuhan apa yang menjadi haknya”.
2.Masehi tidak memiliki perundang-undangan bagai masalah kehidupan.
Dari sisi lain, Masehi tidak memiliki perundang-undangan tersendiri bagi masalah-masalah yang ada di dalam kehidupan, yaitu perundang-undangan yang berfungsi untuk memantapkan berbagai bentuk interaksi di dalam kehidupan, mengatur hubungan yang ada didalamnya, dan meletakan dasar-dasar standar tertentu yang adil untuk segala aktivitas dalam kehidupan. Agama Masehi hanya memiliki konsep spiritual dan akhlak, yang dimuat didalam nasehat-nasehat Injil dan dalam perkataan-perkataan Al-Masih.
3.Kekuasaan Agama Masehi
Bagi sekularisme, apabila ia memisahkan agama Masehi dari negaranya atau memisahkan negaranya dari agamanya, pada dasarnya ia tidak menghilangkan agamanya dan tidak pula mengisolasi kekuasaannya. Sebab, agamanya memiliki kekuasaan tersendiri yang tegak berdiri. Ia mempunyai kekuatan, kedudukan, finansial, dan tokoh-tokoh agama. Dengan demikian terdapat dua kekuasaan didalam Masehi, yaitu kekuasaan agama, yang dijalankan oleh pendeta dan tokoh “Akliurus”, dan juga kekuasaan duniawi, yang dijalankan oleh raja maupun presiden serta para tokoh dan pembantu-pembantu pemerintahan.
4.Sejarah Gereja
Sesungguhnya sejarah hubungan gereja dengan ilmu, pemikiran dan kebebasan adalah sebuah sejarah yang menakutkan. Gereja pernah berada dalam kebodohan yang memusuh ilmu pengetahuan, ia juga pernah bergelut dengan khurafat sehingga menentang pemikiran, juga pernah bertindak sewenang-wenang dan menentang kebebasan, pernah berkonspirasi dengan kaum feodalistik menentang rakyat sehingga rakyat pun bangkit melakukakan revolusi terhadapnya. Mereka menuntut kebebasan dari para petinggi pemerintahan secara langsung, dan mereka pun menganggap bahwa pengisolasian agama dari negara adalah sebuah upaya bagi rakyat di dalam menentang keterkungkungan mereka.
4. Periodisasi Sekularisme
Untuk lebih memudahkan pemahaman mengenai perkembangan permasalahan tentang sekularisasi dalam kerangka pemikiran kefilsafatan di Eropa, secara garis besar Muhammad Al-Bahy membagi dua periode sekularisme.
-Periode pertama, periode sekularisme moderat yaitu antara abad ke-17 dan ke-18
-Periode kedua, periode sekularisme ekstrem, yaitu yang berkembang pada abad ke-19
A.Periode sekularisme moderat
Pada periode sekularisme moderat, agama dianggap sebagai masalah individu yang tidak ada hubungannya dengan negara, tetapi meskipun demikian, negara masih berkewajiban untuk memelihara geraja, khususnya bidang upeti atau pajak. Dalam pengertian ini, dalam pemisahan antara negara dan gereja, tidak dirampas agama Masehi sebagai agama sekaligus dengan nilai-nilai yang dimilikinya, meskipun ada sebagian ajarannya yang diingkari, dan menuntut penundukan ajaran-ajaran agama Masehi kepada akal, prinsip-prinsip alam, dan perkembangannya. Penganut pendapat demikian dikenal dengan penganut aliran “Deisme”yang mengakui adanya Tuhan sebagai asal muasal alam, akan tetapi mengingkari adanya mukjizat, wahyu dan menggolongkanTuhan kedalam “alam”; Tuhan menyerahkan alam kepada nasibnya sendiri. Diantara para penganutaliran ini terdapat:
-Francois Voiltare (1694-1778), filsuf Perancis yang digolongkan sebagai penganut agama alami
-Lessing (1729-1781) , filsuf Jerman yang berpendapat bahwa agama bukanlah terminal terakhir, melainkan sebagai periode batu loncatan menuju kehidupan manusia. Agama berstatus sebagai medan perkembangan. Tuhan bermaksud memberikan petunjuk manusia kepada kebenara, sedang kebenaran abadai tidak ada, yang ada hanyalah usaha menuju kepada kebenaran.
Filsuf-filsuf lain yang termasuk dalam periode sekularisme moderat:
-John Locke (1632-1704), filsuf Inggris yang berpendapat bahwa negara yang modern telah menghapuskan semua wasiat Gereja. Karena memandang kepercayaan agama sebagai hasil pemikiran perorangan, dan persaudaraan dalam agama sebagai hubungan bebas yang harus dipikul dan dipertahankan selama tidak mengancam kebinasaan dan kehancuran undang-undang negara.
-G.W. Leibniz (1646-1716), filsuf Jerman. Ia sependapat dengan Locke, bahwa agama menjadi masalah perorangan yang hanya berurusan dengan individu saja tanpa ada suatu hubungan dengan negara. Bahkan dialah yang menganjurkan penghapusan sebagian ajaran agama Masehi yang tidak sesuai dengan akal.
-Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris yang berpendapat bahwa negara itu merupakan “akad” atau kesepakatan dimana negara berkewajiban menggiring manusia secara paksa ke dalam akad tersebut. Karena itulah Hobbes menekankan pentingnya kewajiban negara. Ia menjadikan negara sebagai sebagai sumber undang-undang, moral dan agama. Bahkan untuk pemeliharaan kekuatan dan kewibawaan negara, dianjurkan agar negara berbuat sesuai dengan apa yang disenangai atau dikehendakinya.
-David Hume (171-1776), filsuf Inggris yang ateis. Ia mengingkari adanya roh yang kekal, tetapi tetap menganggap agama sebagai kepercayaan, agama menurut pandangannya bukanlah suatu ilmu tetapi hanya institusi belaka.
-J.J. Rousseau (1712-1778), filsuf Perancis dan seorang humanis non materialis. Dalam buku Emil, Rousseau memfokuskan alam sebagai faktor pemisah sebagaimana ia menjadikan agama dalam pendidikan merupakan suatu hal yang bertentangan dengan alam. Menurut pendapatnya, sebaiknya anak tidak boleh mengikuti golongan agamis, tetapi anak memilihi sendiri berdasarkan atas akal murninya. Rousseau tidak menerima paham ateisme, tetapi ia juga menolak bukti-bukti metafisis tentang adanya Tuhan yang diajarkan ilmu ketuhanan Gereja.
Pokok pemikiran yang mendorong adanya pemisahan antara Gereja dan negara, atau antara agama dan negara, pada sekularisme periode pertama ini yaitu:
-Keutamaan untuk menciptakan kewibawaan negara dengan kewibawaan yang mutlak, dalam rangka menghadapi kekuasaan Gereja, beserta wasiat-wasiatnya yang telah diberikan kepada manusia sejak abad pertengahan, sebagaimana pendapat Hobbes
-Tuduhan terhadap agama Masehi dengan ajaran-ajarannya yang jauh dari akal sehat – seperti kepercayaan tentang Trinitas, kepercayaan tentang tabiat Tuhan dan manusia yang dimiliki Al-Masih; sebagaimana pendapat Locke dan Leibniz, yaitu dalam usahanya membersihkan agama Masehi berdasarkan logika akal sehat.
-Menurut ilmu pendidikan, agama bertentangan dengan “alam”, seperti yang diutarakan Rousseau berdasarkan ajaran-ajaran agama Masehi yang berupa dosa turunan.
-Anggapan bahwa agama itu suatu perkembangan, bukan tujuan terakhir, dengan demikian kebenarannya adalah kebenaran yang dapat berubah, sebagaimana pendapat Lessing.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H