Fenomena menarik motif serangan by design oleh kompetitor kepada pasca Jokowi nyapres (Jokowi's candidacy) akhir-akhir ini sangat mudah terbaca publik karena diasumsikan ngotot memaksa, tidak faktual argumentatif? Mengapa hal itu bisa terjadi? Mungkin hipotesanya disebabkan memang amunisi kesalahan; kejelekan Jokowi sangat terbatas, sangat sedikit, sebagian besar adalah soal ingkar janji (Prabowo bilang pembohong red) status jabatan DKI-1 Jokowi yang belum selesai plus banjir macet dan isu Busway karatan. Akibat minimnya rapor jelek Jokowi sampai Fahri Hamzah (PKS) kehabisan kata-kata dan akhirnya bilang tampang Jokowi bukan "President Look"
Kampanye Pemilu di belahan dunia ini memang berbeda-beda karakternya. Di Amerika demokrasi dan kampanye pemilu harus akuntabel dan isu diangkat cenderung persuasif ke arah program kandidat, pertarungan akan sangat sengit di seputar kepentingan hajat publik misalnya soal "the problem of vouchers and school choice, war on drug, gay lesbian issues, guns control dan publik akan mengatakan sangat gamblang we need election for election reform toimprove democracy in America. Seorang analis kondang James Madison menguatkan hal ini bahwa " a popular government without popular information or the means of acquiring it, is but a prologue to a farce or a tragedy or perhaps both." Artinya bisa saja diasumsikan pemerintah yang disukai dan popular tanpa informasi yang popular untuk dipercaya dianggap sedang mabok kekuasaan dan gilirannya bisa jadi akan menciptakan tragedi. Bagaimana dengan kita di Indonesia? Mencermati perkembangan lingkungan strategis pemilu saat ini tampaknya rakyat kembali akan menjadi korban. Indonesia masih berkutat dalam cerita lama yaitu segmentasi adu domba, money politic dan black campaign. Agung Nugrohodi Kompasiana ini Black Campaign = Hukum Kekekalan Momentummengutip Blackcampaign adalah suatu model atau perilaku atau cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah, mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya. Sangat menarik dengan sudut pandang fisikanya Agung Nugroho berteori apabila energy Blackcampaign digunakan untuk menyerang kelompok lainmaka yang terjadi adalah energy tersebut akan “melentingkan bola”yang seharusnya “dikempesin”.
Dengan teori itu energi yang dimuntahkan baik secara diam diam santun normatif (pura-pura bijak dan baik) maupun tembak langsung secara masif membabi buta oleh lawan politik Jokowi justru akan melambungkan snowball Jokowi merasuk bagai virus ke jantung hati para pemilih seantero Indonesia dan itu tak dapat dielakkan. Akibatnya kampanye terbuka jor joran pengerahan massa juga tidak akan relevan dan efektif lagi saat ini. Segala rapor Jokowi yang dianggap minus selama memimpin Jakarta oleh pesaingnya tidak disajikan secara argumentatif menjadi kehilangan taji dan maknanya. Contoh paling anyar tampaknya lawan politik (tidak abadi) terutama Prabowo dan Fadli Zon yang dianggap sangat akademis ternyata salah strategi mengangkat tema Jokowi ingkar janji (Prabowo bilang penipu) menghianati Jakarta untuk 5 Tahun. Ini jelas salah kalkulasi disamping melupakan teorinya Agung Nugroho juga melupakan fenomena Amerika yang sebagian besar Presidennya adalah berasal dari Gubernur yang juga tidak menyelesaikan tugasnya sampai tuntas ketika mencalonkan diri tengoklah dalam sejarah presiden AS, sebanyak 16 orang gubernur tercatat sukses menjadi Presiden dan hanya 6 presiden AS yang berasal dari profesi lain seperti militer, pengacara dan wartawan, Presiden AS yang berasal dari militer adalah Bapak Bangsa AS George Washington, Zachary Taylor, Ulyses Grant dan Dwight D Eisenhower. Sedangkan Presiden AS yang berasal dari Gubernur dan sangat terkenal misalnya adalah Jimmy Carter (Georgia), Ronald Reagan (California), Bill Clinton (Arkansas), George W Bush (Texas). Jokowi adalah Gubernur pertama di Indonesia yang nyapres sehingga alhasil bola Jokowi makin melinting dan bisa dianggap bandul perubahan demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
Yang terasa mengelitik black campaign yang sebenarnya sudah usang diusung kembali oleh Gerindra. Publik melihat gaya tak mau kalah kata kata Fadli Zon soal perjanjian Batu Tulis yang bila ditinjau akan menjadi bumerang bagi Gerindra kalau tidak hati-hati karena ini bukan soal value karakter individu. Sangat terang benderang jelas dari segi politis argumen Fadli Zon itu sangat tak proper dan segi yuridis tak lagi mengikat (consent to be bound) karena telah kehilangan obyek perjanjiannya sejak tahun 2009 (meski eksplisit tertulis di point 7 Megawati mendukung Prabowo Capres 2014) Mengapa? Kita heran apakah Fadli Zon tidak diberi pencerahan oleh Lawyer partainya?? Sesuai asas Pacta Sunt Servanda (asas konsensualisme= Pasal 1320 BW), semua perjanjian harus memenuhi kriteria antara lain perjanjian harus dilakukan oleh subjek yang mampu melakukan perbuatan hukum, adanya causa yang halal, logis dan saling menguntungkan? apakah perjanjian Batu tulis itu bisa berlaku saat ini bila subjeknya Megawati yang menandatangani tidak punya wewenang (oleh publik dan Kongres) melakukan perbuatan hukum itu pada tahun 2014? apakah logis nanti bila PDIP yang diprediksi melewati ambang PT 20 % bisa mandiri punya calon sendiri justru mendukung Prabowo Capres Gerinda yang jauh dibawah suaranya? apakah setelah Mega-Pro kalah tahun 2009 lalu harus mendukung Prabowo 2014 tidak melanggar kondisional sifat saling menguntungkan Pasal 1320 KUHPerdata?
Sebenarnya Pemilu Indonesia dengan banyaknya potensi isu problematika dalam negeri yang bisa diangkat seharusnya bisa menjadi pemilu dan pesta demokrasi yang paling menarik di abad jagad ini namun sayang kita belum melek politik sehingga sulit dewasa menerima kekalahan dan kelemahan, kita belum bergerak cukup jauh bak kecepatan rudal kita masih terbenam gali lobang tutup lobang, terbenam dalam kubangan yang sama. Apresiasi dan rekomendasi yang penting sekarang bagi kita adalah keyakinan bahwa kita tetap yakin bila kita terus menerus membangun dialektika rakyat yang berdaulat secara sehat dan argumentatif maka Indonesia suatu saat kelak akan menjadi kampiun terbesar demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H