Mungkin tidak banyak orang yang tidak tau sikap Prabowo yang tidak sungkan-sungkan main tangan dengan orang-orang terdekatnya. Bahkan, pendukungnya yang paling vokal saja kena imbas akibat temperamen Prabowo. Dengar-dengar ada rumor yang beredar di sosial media bahwa Ahmad Dhani, tokoh yang pro-Prabowo, ditampar oleh Prabowo! Kejadian tersebut berlangsung pada saat Ahmad Dhani dipanggil menghadap Prabowo. Kabarnya, Prabowo sangat murka dan tidak dapat menahan emosi sampai melayangkan tangan ke wajah pentolan grup band Dewa 19 itu. Prabowo berpendapat Ahmad Dhani telah merusak rencana besar pemilunya yang telah ditata rapi dengan membuat video klip kontroversial Prabowo-Hatta: We Will Rock You yang saat ini dicecar habis-habisan baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Sebenarnya, saya dapat mengerti alasan capres nomor satu ini naik pitam terhadap Ahmad Dhani. Tindakan musisi Ahmad Dhani yang mengenakan seragam mirip komandan satuan elite Nazi Schutzstaffel (SS) Heinrich Luitpold Himmler, dalam video klip tersebut telah menuai reaksi dan protes keras dari berbagai kalangan dan otomatis mencoreng elektibilitas pasangan Prabowo-Hatta dalam pemilu. Tetapi, ada yang bisa kita renungankan dari kisah ini, ini bukanlah pertama kalinya Prabowo Subianto main tangan karena kecewa atau kesal dengan orang sekitarnya seperti kisah pelemparanhandphoneolehPrabowo ke SDA.
Memang wajar apabila seseorang marah karena pihak lain dirasa telah merugikan dirinya, tetapi apakah harus menggunakan kekerasan untuk melampiaskan/menyelesaikan permasalahan tersebut? Menurut saya, reaksi seseorang pada kondisi yang genting atau tidak menguntungkan bisa menunjukan kualitas leadership orang itu. Kalau berdasarkan rumor-rumor yang beredar, sifat Prabowo yang cenderung abusif mungkin bukan sosok yang saya inginkan untuk memimpin bangsa ini. Di satu sisi, cerita diatas bisa menyimpulkan bahwa Prabowo sebagai sosok yang tegas. Tapi, pertanyaan yang mau saya ajukan adalah: Apakah sosok yang tegas itu cuma bisa ditunjukan melalui aksi kekerasan? Apakah tidak ada jalan lain selain mengunakan kekerasan di saat sedang naik pitam? Apakah melempar benda dan memukul orang itu dibenarkan tindakannya?
Saya tidak kuasa berandai-andai bagaimana jika seorang Prabowo menjabat sebagai presiden Indonesia. Kalau Prabowo jadi presiden, bisa-bisa kita harus selalu tunduk dengan segala perintah dan aturan yang dibuatnya. Kita akan hidup dalam ketakutan; takut jika berbeda pendapat dan membuat ‘sang pemimpin’ marah bukan cuma kena tampar saja, nyawa juga mungkin melayang! Kalau Prabowo jadi presiden, bisa-bisa kita akan terlalu sibuk menyenangkan ‘sang pemimpin’ sampai lupa akan nilai positif dari perbedaan pendapat. Apa jadinya bangsa ini kalau kita hanya bisa patuh dan tidak mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang ada karena takut? Apa jadinya Indonesia kalau kebebasan rakyatnya dibatasi? Akan sangat mungkin Indonesia bukannya melangkah ke depan, malahan kembali melangkah ke belakang, ke masa-masa Orde Baru di mana kebebasan berpendapat dan berekpresi ditekan habis-habisan oleh pemerintah.
Mungkin bisa dibilang saya terlalu mendramatisir keadaan, bisa dibilang saya lebay, tapi saya harap buah pemikiran saya dapat memberikan pandangan yang berbeda untuk para calon pemilih di pemilu 9 Juli nanti. Pemilu kali ini akan menjadi saat yang paling penting menentukan masa depan Indonesia, apakah akan maju ke depan atau mundur ke belakang. Kita tak mungkin menggantungkan harapan seperti ini pada Prabowo. Pertanyaan yang harus diingat adalah: Apakah kita mau mempunyai seorang pemimpin yang otoriter dan abusif ? Masa depan Indonesia akan ditentukan para calon pemilih, maka itu, ada baiknya jika kita menentukan pilihan kita berdasarkan rekam jejak dan perilaku terhadap orang lain di balik layar, bukan hanya sekedar sosok yang ditampilkan di depan layar kaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H