Ada yang menarik perhatian saya tadi pagi, ketika melintas jembatan penyeberangan di bilangan Sudirman Jakarta kearah Area Senayan untuk jogging pagi, yaitu pemandangan kepadatan mobil beraneka brand yang kinclong-kinclong merayap ditengah kemacetan ibukota.
Rata-rata mobil tersebut adalah tipe baru yang terlihat mewah, canggih, dan penuh dengan fitur terkini. Kira-kira harganya berapa ya? Udah pasti untuk kaum mendang-mending akan membuat kantong jadi kempes dalam sekejap.
Atau ada yang jawab, "Kan bisa kredit, ngapain susah?"
Saya bertanya-tanya, apa sih yang membuat orang rela ngutang atau ambil kredit demi memiliki mobil baru?
Mari kita bicara tentang gengsi. Gengsi ini ibarat aroma kopi yang menarik, membuat kita lupa diri dan berani nekat. Bahkan, terkadang kita berani menggadaikan hidup demi gengsi. Ya, gengsi, si bumbu penyedap kehidupan yang kadang bikin panas dan pusing kepala.
Gengsi membuat orang lupa bahwa mampunya sebenarnya hanya motor bukan mobil. Dan menganggap dia mampu dengan memaksa punya mobil dengan modal kredit. Aduh!Â
Alkisah seorang tetangga di kampung saya sebutlah bernama Pak Kumbang (bukan nama sebenarnya). Pak Kumbang selalu terlihat berbangga dengan mobil SUV barunya yang kilap, mewah, dan selalu berubah tiap 3 tahun.
Namun, di balik gengsi itu, Pak Kumbang harus menelan pil pahit, yaitu mengalami stres karena hutang. Dia tidak punya pilihan lain selain kerja mati-matian untuk bayar cicilan bulanan atau bakal berhadapan dengan para collector yang siap menarik mobil kapanpun.
Bukan hanya itu, anak-anaknya bahkan terancam hampir tak bisa lanjut sekolah karena biaya yang teralihkan untuk membayar cicilan mobil. Ironis, bukan?
Dari cerita Pak Kumbang, kita belajar bahwa gengsi tak sebanding dengan beban yang harus ditanggung. Kita tidak perlu mengorbankan kehidupan yang bahagia hanya untuk tampil 'wah' di depan orang lain.