Mohon tunggu...
Asina Siagian
Asina Siagian Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya bekerja sebagai tenaga IT. Lulusan Fakultas Ilmu Komputer - Universitas Indonesia. Pergi ke tempat-tempat baru dan berbaur dengan budaya lokal menjadi petualangan yang tidak ada habisnya. Menulis adalah hal lain yang membuat hidup saya bergairah. Biasanya saya menulis di http://clickmyjourney.blogspot.com/.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kamu harus punya impian. Masa sih?

25 Juni 2013   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:27 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Sumber foto: http://halfwaybetweenthegutter.files.wordpress.com/"][/caption] Semalam, temanku mengajak ketemuan di sebuah mall di Jakarta Barat. Kami masuk ke sebuah restoran. Disana temanku bertemu dengan temannya. Kami pun berkenalan. Tiba-tiba saja  aku merasa sedikit curiga karena teman baruku ini, kita sebut saja namanya Mr. X berkali-kali mengatakan bahwa pertemuan kami ini bukanlah sebuah kebetulan dan dia ingin menjelaskan sesuatu. Dan temanku langsung mempersilahkan dia berbicara tanpa kami memesan makanan terlebih dahulu. Padahal aku sudah kelaparan, tadi aku keluar dari kantor pukul 6.30 dan tiba pukul 8.30. Sebenarnya sekarang sudah terlambat untuk makan malam, tapi demi menghargai temanku, rasa laparku pun terpaksa kutahan dulu. Mr. X membuka tabletnya dan menjelaskan bisnis yang sedang dia jalankan. Sebagai seorang pendengar yang baik, aku mendengarkan dia berbicara panjang lebar. Aku diam saja menyimak namun demikian aku sudah mencium aroma MLM (multi level marketing) setelah beberapa saat mendengar dia. Tiba-tiba dia bertanya, "Mau gak punya penghasilan 100 juta?" Secepat kilat saya bilang, "Tidak." Dia langsung terdiam beberapa saat. "Gak mau punya penghasilan 100 juta?" "Tidak. Lagian buat apa untuk saya 100 juta, sementara dengan gaji saya sekarang, saya merasa semuanya sudah cukup." "Berapa gaji ideal menurut kamu?" "Saya tidak bisa sebutkan angkanya. Karena setiap orang punya kebutuhan yang berbeda." "Yang sesuai dengan kebutuhan kamu. Berapa gaji ideal yang cocok buat kamu?" "Hmmm, saya sih tidak bisa sebutkan angkanya. Yang pasti sih cukup untuk bayar uang kos, biaya makan sehari-hari, bayar uang kuliah, lalu ditabung. Kalau semua alokasi itu sudah terpenuhi bagi saya itu sudah cukup." "Kamu punya impian?" "Tidak. Saya tidak punya impian." "Kamu harus punya impian. Kalau kita mau hidup kita harus punya impian. Jadi kamu harus punya impian." Singkat cerita, dia terus memaksaku untuk punya impian. Entah kenapa, semua agen MLM selalu mengiming-imingi calon downlinenya dengan penghasilan dengan angka yang fantastis. Di tahun 2008, aku pernah ditawarin menjadi agen asuransi. Dan ya pastinya waktu itu uplineku juga menyebutkan angka-angka yang membuat mata menjadi hijau berbinar-binar. Saat itu umurku masih 23. Ada yang bilang umur 23 adalah masa dimana orang paling sering melakukan kesalahan karena pada umur segitu biasanya orang tidak suka mendengar nasihat orang dan merasa sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Dan itu pulalah yang terjadi padaku. Setelah 3 tahun lulus kuliah, aku berada di titik dimana aku merasa terjebak dengan hidupku. Aku tidak menyukai pekerjaanku. Aku tidak suka IT (Information Technology). Aku bingung. Aku tersesat. Aku putus asa. Ketika tiba-tiba ada orang datang menawarkan penghasilan 100 juta melalui bisnis asuransi, saat itu kupikir itu adalah sebuah pintu yang terbuka bagiku. Aku mengundurkan diri dari pekerjaanku dan dengan sangat optimis aku yakin akan menjadi seorang agen asuransi yang punya penghasilan 100 juta per bulan. Kenyataannya apa yang terjadi? Tiga bulan setelah aku mengundurkan diri itu, aku hanya punya satu nasabah. Dan di suatu sore, aku cek ATM, angka yang tertera di layar adalah 125.000. Uplineku tidak pernah sekalipun menanyakan apakah aku masih punya uang atau tidak. Dia tahu bahwa aku tidak punya sumber penghasilan lagi. Sejak aku full time menjadi agen asuransi, dia tidak pernah mengajariku bagaimana memprospek orang lain. Dia hanya bertanya apakah aku sudah punya nasabah baru atau belum. Aku lulusan IT. Aku kerja di dunia IT. Kalau berbicara dengan benda mati yang disebut komputer itu, aku bisa. Tapi kalau disuruh berbicara dengan yang namanya manusia dan mempengaruhinya supaya membeli produk yang aku tawarkan, aku benar-benar tidak punya keahlian di bidang itu. Dengan uang sebesar 125.000 di ATM dan yang hanya bisa diambil hanya 100.000, aku duduk merenung di sebuah halte di Senen. Akhirnya aku memutuskan bahwa aku akan kembali bekerja di kantor. Satu-satunya keahlian yang kumiliki hanyalah membuat program. Setelah merenung lagi, mau tak mau aku harus kembali bekerja di dunia IT supaya aku punya penghasilan dan bisa bertahan hidup. Sampai sekarang, mantan uplineku itu masih kecewa terhadap diriku. Dia bilang ke temanku bahwa aku bukanlah orang yang taft, bukan orang yang kuat, bukan orang yang bisa maju. Lalu temanku menyampaikannya kepadaku. Awalnya aku kaget mendengarnya. Apa aku harus kerja sebagai agen asuransi supaya aku bisa disebut kuat? Apakah orang yang bisa sukses itu hanyalah agen asuransi? Kalau dia merasa sebagai seorang pemimpin seharusnya dia bisa mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan bukannya malah membiarkan bawahannya kebingungan sendiri mencari jalannya. Dulu dia selalu mengukur kesuksesan dengan pergi ke luar negeri. Setahun setelah aku kembali kerja di kantor, aku berlibur ke luar negeri, sementara dia belum juga pergi ke luar negeri. Kalau memang ukuran kesuksesan pergi ke luar negeri, jadi siapa sebenarnya yang duluan sukses? Mr. X tidak sekalipun menyebutkan kata 'MLM', jadi sebelum terlalu jauh kukatakan padanya, "Begini saja deh. Tahun 2009 ada teman yang mengajak saya jadi agen produk kecantikan dan tahun 2010 ada yang mengajak saya jadi agen asuransi, hingga hari ini mereka belum berhasil meruntuhkan kekerasan hati saya. Jadi kalau ada orang yang mau ajak saya ikut MLM, saya pastikan percuma." Lalu dia menunjukkan rekening tabungan orang lain yang bernilai puluhan juta, ratusan juta, dan milyar. Dalam hatiku, cara-cara ini sama persis seperti di asuransi dulu. Aku tidak mengatakan apa-apa dan mukaku tetap datar melihat angka-angka itu. Dia mengatakan lagi, "Kamu harus punya mimpi. Selagi mimpi itu masih gratis kamu harus punya mimpi." Kalau aku mengatakan mimpiku, apa dia sanggup membantuku untuk mewujudkannya? Kalau aku bilang mimpiku adalah menikah, apa dia akan memberiku jodoh? Kalau aku bilang mimpiku adalah secepatnya wisuda, apa dia akan memberiku ijazah? Mimpi tidak hanya melulu berhubungan dengan uang. Mimpi orang lain mungkin adalah mobil mewah seperti di foto yang dia perlihatkan padaku. Mimpi orang lain mungkin adalah apartemen mewah seperti yang dia beli baru-baru ini. Tapi itu adalah mimpi orang lain, bukan mimpiku. Aku merasa letih ketika dia terus memaksaku untuk punya mimpi. Lalu kukatakan padanya, "Ok, begini. Saya punya impian. Satu. Dan itu sudah terjadi. Impian saya itu adalah keliling Indonesia. Itu adalah impian saya sejak kecil. Lalu ketika saya kembali ke Jakarta, saya memutuskan ingin melanjutkan pendidikan saya. Dan sekarang saya sedang kuliah. Saya ingin fokus di perkuliahan saya. Mengenai impian, karena saya masih harus kuliah selama 2 tahun lagi, nanti setahun sebelum saya lulus, baru saya akan menyusun rencana-rencana masa depan saya lagi. Tapi untuk saat ini, saya hanya ingin fokus kuliah. Dan lagi ketika saya keliling Indonesia, saya belajar banyak hal disana. Saya belajar dalam hidup saya bahwa hidup ini tidak melulu hanya uang, uang, dan uang. Makanya kalau ada orang datang ke saya menawarkan uang 100 juta, yang ada mental dari pikiran saya." Aku sudah pernah hidup dengan bermodalkan 100.000 untuk mulai mencari kerja. Ketika aku keliling Indonesia, selama 6 bulan itu pun aku pernah kehabisan uang, tapi lihatlah ternyata aku bisa kok pulang ke Jakarta. Yang paling mengenaskan adalah ketika aku sibuk mengejar karir dan selama 3 tahun aku tidak pulang ke rumah. Lalu pada akhirnya aku pulang hanya untuk memakamkan ibuku. Lalu pada akhirnya untuk apa kita mencari uang sebanyak-banyaknya? "Saya ini sudah banyak sekali ditolong orang. Jadi kalau Anda menawarkan saya penghasilan yang tinggi, saya jadi bingung. Saya tidak berminat memperkaya diri saya. Terserahlah orang lain punya penghasilan 100 juta atau 1 milyar. Jika saya pada akhirnya sampai ke tahap itu, saya ingin menjalaninya setahap demi setahap. Bukannya karena ada jalan cepat untuk langsung mendapatkan uang itu." "Gaji kamu cukup gak untuk saat ini?" "Sangat cukup." Aku tidak harus memberitahunya berapa gajiku dan kemana saja alokasinya, toh dia bukan konsultan keuangan pribadiku. "Menurut kamu berapa lama kamu akan dapat gaji 100 juta sebulan?" "Masih lama. Tapi saya tidak suka memikirkan hal-hal yang terlalu jauh." Dengan pengalaman kerja selama 8 tahun, aku cukup puas dengan gaji yang aku terima saat ini walaupun masih jauh dari angka 100 juta. Tapi itu pun sudah lebih dari cukup. Kalau dipikir-pikir masa sih kalau orang mau hidup dia harus punya impian. Setahun setelah keliling Indonesia, aku benar-benar tidak punya impian lagi. Selama setahun ini, hidupku datar-datar saja. Hanya setengah tahun terakhir saja hidupku diwarnai dengan tugas-tugas kuliah dan ujian. Namun demikian, aku bisa hidup kok. Toh, kalau dipikir-pikir lagi, tidak akan lari gunung dikejar. Lagian setelah sebuah hal besar terjadi dalam hidupku, aku ingin hidup tenang dulu untuk menikmati apa yang ada. Satu fase dalam hidup telah selesai, saatnya bersantai dulu. Jadi kalau dibilang kalau orang mau hidup dia harus punya impian. Masa sih? Sampai pada akhirnya pelayan mengusir kami karena restorannya sudah mau tutup, kami belum juga memesan makanan. Tadinya aku senang, kupikir temanku kangen padaku makanya ingin bertemu ternyata dia ingin menawarkan bisnis MLM. Ketika pamitan, Mr. X minta maaf padaku walaupun aku tidak tahu kenapa dia bisa minta maaf. Kujawab, "Eh, jangan minta maaf. Malah saya ingin berterima kasih atas pencerahannya."

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun