[caption id="" align="aligncenter" width="419" caption="sumber foto: against-the-grain.com"][/caption] Beberapa waktu yang lalu aku menonton acara kompetisi masak-memasak di salah satu TV swasta. Pada hari itu adalah babak pemilihan 10 besar dan peserta yang berhasil lolos antara lain:
- Gilang (24)
- Kevin (26)
- Yogi (45)
- Mimi (26)
- William (22)
- Nino (28)
- Angella (38)
- Tya (21)
- Nurul (20)
- Brian (25)
Nah, ceritanya pak Yogi yang berhasil mendapatkan reward. Dengan reward tersebut, dia bisa memilih tidak ikut kompetisi di hari itu atau disimpan dulu untuk digunakan sewaktu-waktu. Pak Yogi memilih untuk menggunakan reward tersebut untuk tidak ikut kompetisi di hari itu, sehingga dengan demikian otomatis pak Yogi masuk ke dalam 10 besar. Pak Yogi mengatakan bahwa dia senang mendapatkan reward tersebut padahal dia adalah peserta tertua. Aku tersentuh dengan ucapan pak Yogi tersebut karena di kelasku aku juga adalah peserta paling tua. Pada awalnya, tidak ada yang tahu. Tapi lama-kelamaan mereka mulai tahu dan memanggilku dengan sebutan kakak. Berada di antara anak-anak yang usianya jauh lebih muda bukanlah sesuatu yang mudah pada awalnya. Mereka baru saja lulus dan pastinya otak mereka masih encer, istilahnya masih fresh from the oven. Beda dengan isi otakku yang sudah delapan tahun tidak pernah digunakan untuk belajar. Peserta tertua mungkin karena lebih banyak makan asam garam sehingga lebih bisa mengelola emosi, mengelola suasana hati yang naik turun, serta lebih pintar dalam menyusun strategi yang akan digunakan untuk berperang. Selain itu, yang ingin dikejar tidak hanya sekedar menjadi juara, ada hal lain yang jauh lebih penting dibandingkan menjadi juara. Yang kuperhatikan dari teman-teman sekelasku, jika suasana hati mereka tidak bagus mereka tidak masuk kelas atau bahkan tidak mengerjakan tugas-tugas yang notabene punya kontribusi sekian persen untuk penghitungan nilai akhir. Ada juga beberapa yang suka menyepelekan terutama mata kuliah ilmu sosial. "Ah, nanti ujian tinggal dihapalin aja." Seringkali aku miris kalau dengar mereka berkata demikian. Lagian daripada mereka cuma duduk-duduk di kantin, rasanya tidak akan ada bedanya kalau mereka duduk di kelas. Salah satu dari mereka pernah mengatakan, "Ah, kalau kak Asina mah memang rajin." Lalu kubalas, "Bukan soal rajinnya sih, aku hanya ingin menghargai dosen yang sudah mau datang ngajar di kelas." Setelah nilai akhir keluar, delapan orang tidak lulus dan banyak yang mendapat nilai C (nilai minimal untuk lulus). Nilaiku berada di posisi tertinggi kedua dengan beda 0,97 dengan yang pertama. Dan nilai UAS (ujian akhir semester) ku yang paling tinggi di antara semuanya dengan angka 98. Mata kuliah programming yang selalu menjadi momok bagi mahasiswa ternyata nilai akhirku yang paling tinggi diantara semuanya. Di kelas, aku tidak menonjol dan tidak pernah menonjolkan diri. Aku masih ingat di hari pertama praktikum, aku terpaksa harus minta bantuan asisten dosen karena aku sama sekali buta bahasa pemrograman yang kami pakai sementara batas pengumpulan tugas tidak bisa dikompromi. Kalau tidak mengumpulkan pada waktu yang ditentukan maka secara otomatis sistem tidak akan menerima tugas kita lagi. Pembuktian diri. Itulah yang terjadi. Di awal perkuliahan, aku sempat merasa sedih dan down karena ada yang menyindirku sudah ketuaan kembali ke bangku kuliah. Tapi ternyata faktor umur tidak mempengaruhi seseorang untuk berprestasi. Aku tidak harus menunjukkan kepada mereka IP (indeks prestasi) yang kudapatkan di semester 1 yang barusan berlalu. Cukuplah PA (pembimbing akademik) dan aku yang tahu. Aku yakin pak Yogi pasti punya satu hal yang ingin diraih makanya dia berani ikut kompetisi ini dan bersaing dengan anak-anak muda yang notabene memiliki semangat persaingan yang begitu tinggi. Dan entah kenapa, orang yang lebih tua biasanya punya semangat belajar yang jauh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya. Itu jugalah yang kulihat pada seorang ibu yang kukenal di sebuah komunitas menyelam (scuba diving). Beliau ini punya semangat yang jauh lebih tinggi dari kami-kami, para penyelam yang masih muda. Beliau tidak pernah mau menyebutkan umurnya, tapi yang jelas beliau sudah punya cucu dan kalau dilihat dari kulit, beliau ini pastilah sudah memiliki umur di atas 50. Aku selalu mengagumi beliau dan semangat yang sudah dia tularkan kepada kami. Faktor umur tidak menjadi penghalang untuk terus berkembang. Faktor umur juga tidak menjadi masalah untuk bergabung dengan orang-orang yang lebih muda demi mencapai misi pribadi. Aku tidak sabar untuk mengikuti perjalanan pak Yogi di acara tersebut dan sampai dimana dia mampu bertahan di kompetisi tersebut. Semangat terus pak Yogi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H