Ini adalah sebuah kisah perjalanan seorang wanita. Wanita yang mengalami banyak kesedihan dalam hidupnya dan pergi mencari pemulihan. Wanita yang tersesat dalam kehidupannya sendiri dan pergi mencari pencerahan.
Ini adalah kisahku. Sebuah perjalanan yang membawaku pergi jauh dari rumah, ke tempat-tempat baru, bertemu orang-orang baru, melarikan diri sejenak dari kehidupan, setelah itu kembali ke rumah.
Sejak ibuku meninggal, emosi dan jiwaku terus down, harapan hidupku semakin lama semakin menipis, dan aku pun mengalami gejala skizofernia alias ganguan jiwa. Di tahun yang sama, beberapa bulan sebelumnya, aku juga kehilangan cinta pertamaku. Aku patah hati dan membuatku depresi hingga terkena alergi kulit.
Setelah ibuku meninggal, adikku pindah ke Jakarta. Susah sekali mencari sekolah untuk adikku yang masih SMP padahal dokumen kepindahan sudah lengkap. Dalam tiga bulan entah sudah berapa puluh kali kami ditolak dengan alasan pendaftaran siswa baru sudah ditutup. Hal ini begitu menguras kekuatanku secara fisik dan emosi.
Ah... banyak sekali masalah yang terjadi dalam hidupku.
Tiap hari aku melakukan meditasi untuk menenangkan pikiranku. Aku juga beberapa kali konsultasi dengan seorang psikolog. Selain itu aku juga sering konseling ke gereja, dengan berurai air mata aku memohon untuk mendoakanku supaya aku diberi kekuatan oleh Tuhan untuk bisa melalui ini semua.
Aku sudah terlalu letih dengan hidupku. Emosiku berada di ujung tanduk. Lalu aku memutuskan untuk pergi berlibur ke tempat yang jauh. Kemana saja, yang penting pergi sejauh-jauhnya dari Jakarta. Dan inilah yang membuatku melakukan perjalanan hingga ke pulau Lombok. Seorang diri.
Sekarang aku berada di Gili Trawangan. Hari pertamaku di gili, aku mencoba menangis seperti yang biasa kulakukan tiap hari, tapi ternyata air mataku tidak keluar. Keesokan harinya, aku coba lagi menangis, tapi air mataku tidak juga keluar.
Di gili ada seorang pria yang bertanya kepadaku kenapa aku bisa pergi jauh dari rumah dan jalan-jalan seorang diri. Aku hanya menjawab dengan singkat bahwa hatiku sedang terluka. Dia cuma terdiam memandangku dengan alis sedikit terangkat. Syukurlah tidak ada pertanyaan lanjutan.
Sekiranya dia bertanya lagi, tentu saja aku tidak akan menjawabnya. Dalam buku Don't sweat the small stuff for women, sang penulis mengatakan jika kita punya masalah sebaiknya kita hanya menceritakannya sekali saja kepada orang yang kita percaya, setelah itu kita harus menahan lidah kita untuk kembali curhat kepada orang lain. Aku mungkin sudah ribuan kali meminta dukungan dari teman-temanku sejak kematian ibuku, namun kali ini aku benar-benar tidak ingin menceritakannya kepada orang asing hanya untuk mendapatkan sebuah empati lagi. Dan memang aku pun tak berharap seluruh dunia tahu luka batin yang sedang kurasakan ini.
Semuanya dimulai disini, di Gili Trawangan ini. Mencari arti hidup, kutemukan jawabannya disini. Perenungan akan masa laluku, kudapatkan pencerahannya disini. Luka batinku yang teramat dalam karena patah hati dan ibuku meninggal, berlahan mulai sembuh sejak disini. Semangat untuk menjalani kehidupanku, mulai pulih sejak disini. Aku menjadi seorang traveler, dimulai dari sini. Aku mencintai kehidupanku, dan makin mencintai hidupku sejak dari sini. Gili Trawangan adalah cinta pertamaku.