Dewasa ini, dengan semakin berkembangnya dunia pendidikan, melanjutkan sekolah di luar negeri merupakan suatu mimpi bagi sebagian besar generasi muda.
Bahkan, sebagian besar juga tidak menyangka untuk dapat memperoleh kesempatan tersebut, baik melalui beasiswa atau melalui cara lain. Terdapat usaha, yang tidak sedikit, untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Bagi banyak orang Indonesia yang belajar di luar negeri, pada waktu tertentu pasti akan muncul suatu pertanyaan di benak mereka, yaitu untuk kembali ke tanah air atau tidak. Keputusan mahasiswa untuk pulang atau tidak terus menjadi suatu hal yang kontroversial, hingga saat ini.
Gagasan bahwa pilihan orang Indonesia lebih cenderung memilih untuk menetap di luar negeri didukung dengan beberapa argumen. Tokoh Indonesia B.J. Habibie, mantan Presiden Republik Indonesia yang pernah menekuni studi di Jerman sendiri mengungkapkan: “Dari zaman saya di Eropa, isunya sama: brain drain. Tapi, kita realistis saja. Bagaimana orang pintar mau pulang ke Indonesia kalau tidak ada lapangan pekerjaan di sana?”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang berhasil untuk memperoleh kesempatan di luar negeri, yang cenderung memiliki kualifikasi yang lebih berat dibandingkan dalam negeri, adalah orang yang bekerja keras, lebih-lebih lagi mereka yang memperoleh beasiswa.
Belum lagi berbagai peraturan, perbedaan nilai mata uang yang signifikan, inflasi yang terjadi, kondisi geopolitik, standar yang beda pada tingkatan pendidikan yang sama dan lain sebagainya di Indonesia yang membuat sebagian orang merasa tidak diterima, atau perlu mengorbankan segala yang mereka dapatkan, saat di luar negeri, pada saat mereka pulang.
Untuk sekarang, kita harus mengakui bahwa taraf kualitas kehidupan di luar negeri lebih tinggi apabila dibandingkan dengan Indonesia. Dalam kasus ini, sebagian alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang menjalankan studinya di luar negeri tidak ingin untuk kembali ke tanah air.
Padahal mereka yang menerima beasiswa seharusnya diwajibkan untuk kembali melaksanakan pengabdian di tanah air selama 2 kali masa studi ditambah 1 tahun. Kini, sebanyak 15.930 dari 32.826 penerima beasiswa LPDP telah lulus. Namun masih terdapat 138 alumni (0,9%) yang belum kembali setelah menyelesaikan studinya.
Selain itu, terdapat juga 175 orang yang sempat tidak ingin kembali, namun berhasil dipulangkan ke Indonesia setelah ditindak. Mereka yang telah lulus mendapatkan waktu 90 hari untuk kembali ke Indonesia, atau mendapatkan sebuah peringatan. Baru apabila 30 hari setelah peringatan belum kembali, akan dikenakan sanksi.
Mengatasi hal tersebut, LPDP menjalin kerjasama dengan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mengoptimalkan kegiatan pemantauan keberadaan awardee LPDP di luar negeri.
Tentu ada argumen yang menentang sikap tidak kembalinya para pelajar tersebut, yakni nasionalisme. Mereka adalah pelajar yang memiliki kesempatan untuk belajar di luar negeri, keberuntungan untuk memperoleh ilmu yang lebih luas. Namun, bukannya berkontribusi menggunakan ilmu ini untuk mengembangkan negara sendiri, mereka memutuskan untuk bekerja demi negara lain.
Para pahlawan pendiri bangsa telah bersusah payah dan mengorbankan segalanya demi kemerdekaan Indonesia, sedangkan mereka yang menetap di luar negeri hanya memikirkan dirinya sendiri ketika negara membutuhkannya untuk kebaikan yang lebih besar. Dari sudut pandang tertentu, mereka egois.
Dari sudut pandang lain kita tidak dapat menyalahkan sepenuhnya kepada mereka. Situasi kesejahteraan di Indonesia yang tidak cukup menjanjikan menjadi salah satu faktor pertimbangan.
Lagipula, bukannya mereka sudah tidak memiliki rasa nasionalisme, tetapi merasa tidak diperlakukan dengan baik oleh negara sendiri. “Efek negatif itu (negara tanpa sistem kesejahteraan) yakni lemahnya rasa memiliki terhadap bangsa dan negara” kata Budi Setiyono, Wakil Rektor I Universitas Diponegoro.
Menjadi suatu sistem logika timbal balik, dimana mereka yang tidak merasa diperlakukan baik oleh negara tidak akan berusaha untuk memperlakukan baik negara. Kesejahteraan yang diberikan negara menimbulkan rasa keperluan untuk, contohnya, membayar pajak agar memperoleh perlindungan dari negara.
Dampak negatif lainnya dari kurangnya kesejahteraan negara adalah kecenderungan merendahkan dan meremehkan hukum. Sebaliknya negara yang memiliki sistem kesejahteraan terpadu dan positif justru lebih taat hukum. Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi antara jaminan kesejahteraan dengan ketaatan hukum, dan rasa memiliki suatu negara.
Seluruh pelajar Indonesia, baik luar dan dalam negeri, dapat dianalogikan seperti bibit tumbuhan yang ditanam oleh seorang pemilik, yaitu Indonesia. Lantas untuk tumbuh dan berkembang, sang pemilik harus memberinya air beserta pupuk yang cukup.
Demikian halnya dengan pelajar di Indonesia, agar mereka menjadi generasi penerus bangsa yang hebat, memerlukan dukungan pendidikan dan fasilitas oleh negara.
Namun perlu diingat bahwa tumbuhan memerlukan kondisi yang kondusif, lembab, tidak kering, dan subur. Itulah letak kesejahteraan, agar tumbuhan dapat berdiri kokoh dan tumbuh subur.
Layaknya sebuah tumbuhan, pelajar Indonesia yang dirawat dengan subur dapat memberikan sesuatu bagi negaranya. Satu tumbuhan dapat menghasilkan oksigen, dan udara yang sejuk di sekitarnya untuk makhluk hidup lain.
Sama halnya dengan pelajar Indonesia, mereka dapat mengabdi kepada negara dan menggunakan ilmunya untuk membuat negara Indonesia menjadi lebih baik.
Sehingga pemilik juga memiliki kewajiban untuk menjaga kondisi lingkungan yang kondusif bagi tanaman. Lalu bagaimana jika sang pemilik tidak memiliki kondisi yang sesuai?
Namun mengembalikannya ke tempat yang tidak sesuai hanya akan membuat pertumbuhannya sia-sia. Apabila tumbuhan tersebut ditempatkan pada lingkungan yang tandus, kering, dan terik. Tumbuhan tersebut akan layu, bahkan mati.
Sehingga ketika tumbuhan tersebut mendapatkan kesempatan untuk tumbuh di sebuah tempat yang lembab dan subur, kembali ke tanah yang kering hanya akan menyia-nyiakan pertumbuhannya, lalu layu. Bagaimanapun, lingkungan yang tidak kondusif akan mengekang pertumbuhan dan potensi tumbuhan itu.
Masyarakat tanah air sangat mempengaruhi keberlangsungan negara Indonesia. Terbentuknya negara ini merupakan hasil kerja keras dan pengorbanan para pahlawan terdahulu sampai titik darah penghabisan.
Sebagai generasi penerus, masa depan Indonesia berada di tangan para masyarakat sekarang, khususnya para pelajar. Menjunjung sikap nasionalisme yang tinggi, sudah seharusnya dan sebaiknya mereka mendukung negara.
Menghadapi situasi ini, banyaknya pelajar Indonesia yang memiliki kesempatan belajar di luar negeri, tetapi justru memutuskan untuk menetap di negara tersebut juga dapat mengancaman keberlangsungan negara Indonesia.
Pelajar-pelajar unggul tersebut tidak menggunakan kemampuan dan kehebatan yang dimilikinya demi kebaikan Indonesia. Kedepannya, posisi Indonesia yang terancam ini bukan lain merupakan tanggung jawab pemerintah sendiri.
Di tahun-tahun mendatang, semakin banyaknya pelajar yang memutuskan untuk menetap di negeri orang lain dapat merugikan Indonesia, dan berpotensi membuat Indonesia tertinggal diantara negara-negara. Kemudian apabila Indonesia juga tidak kunjung memperbaiki situasi kesejahteraan negara, tidak salah jika pelajar tersebut lebih memilih untuk menetap di luar negeri.
Daripada menyalahkan para pelajar yang lebih memilih menetap di luar negeri, Indonesia dapat berusaha meningkatkan fasilitas, infrastruktur, ekonomi, dan lain sebagainya untuk menjamin kesejahteraan negara.
Nasionalisme yang ditanam di masyarakat Indonesia seharusnya tak kunjung padam. Lebih dari itu, nasionalisme seseorang pula juga tidak dapat dilihat hanya dari keputusannya untuk menetap di Indonesia atau di luar negeri.
Setiap individu memiliki alasan dan pilihannya masing-masing yang juga patut dihargai. Sehingga permasalahan ini juga tidak akan telerai apabila masyarakat tetap menyalahkan mereka pelajar yang menetap di luar negeri karena tidak memiliki rasa nasionalisme untuk mengabdi kepada negara.
Masyarakat dan pemerintah sebaiknya mengubah pola pikir menyalahkan, menjadi pola pikir solutif untuk mengurangi hal tersebut. Bukannya memusuhi mereka yang memutuskan untuk tinggal di luar negeri, tetapi melihat mengapa keputusan ini diambil.
Pandanglah bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk saling menyalahkan, tetapi untuk saling mengerti dan membantu. Di sisi lain, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan. Salah satu cara yang terbaik, adalah membentuk aturan dan hukum yang tegas untuk memberantas segala pelanggaran hukum di Indonesia seperti korupsi, kriminalitas, kekerasan, dan lainnya.
Dari sisi pelajar Indonesia di luar negeri, mereka tidak dapat sepenuhnya melupakan dan meninggalkan Indonesia, sementara kondisi Indonesia yang memburuk. Bukan berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk tinggal dan mengabdi sepenuhnya kepada negara. Melainkan tetap membawa dan mewakilkan nama baik negara Indonesia di negeri asing. Sehingga sesungguhnya rasa nasionalisme itu tidak hilang.
Melihat situasi ini, sebaiknya masyarakat tidak hanya memandang dari satu sisi pemerintahan, tetapi juga sisi para pelajar tersebut. Bersama-sama sebagai satu bangsa, masyarakat Indonesia belajar mengubah pola pikir yang menyalahkan menjadi pola pikir solutif yang menyelesaikan masalah ini.
Menjadi sebuah keprihatinan apabila di tahun-tahun mendatang Indonesia belum dapat menjamin kesejahteraan dan memperbaiki sistem pemerintahan sekarang, yang berakibat pada berkurangnya rasa memiliki tanah air pelajar. Alias pudarnya nasionalisme atau cinta pada tanah air.
Maka dari itu, dengan meningkatkan jaminan kesejahteraan Indonesia, hal tersebut dapat membangun rasa memiliki dan taat terhadap hukum masyarakat Indonesia. Mulai dari penegakan hukum, perbaikan ekonomi dan infrastruktur, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya.
Para pelajar yang menetap di luar negeri juga tidak sepenuhnya kehilangan rasa nasionalisme. Selain itu, berada di negara negara orang lain masih memungkinkan mereka untuk memperjuangkan dan mendukung Indonesia dengan kelebihannya. Sehingga bersama-sama, baik dari pemerintah dan pelajar dapat saling bersatu memajukan Indonesia.
Sumber:
https://medium.com/@langit.rinesti/why-indonesians-who-study-abroad-refuse-to-go-home-bffa6f68ce41
https://www.beritasatu.com/amp/news/666887/efek-negatif-negara-tanpa-sistem-kesejahteraan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI