Mohon tunggu...
Clemens Danang
Clemens Danang Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu AS 2016: Apakah Electoral College Masih Relevan?

24 November 2016   22:00 Diperbarui: 24 November 2016   22:14 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.juarezhoy.com.mx/

Pemilu Amerika Serikat yang berlangsung tanggal 8 November lalu berakhir dengan kemenangan kandidat Partai Republik Donald Trump atas Hillary Clinton dari partai demokrat. Donald Trump menang setelah berhasil mengantungi 306 suara Electoral College dari 270 yang dibutuhkan untuk memenangkan kursi kepresidenan AS, sedangkan Hillary hanya mendapatkan 232 suara.

Jadi apa sebenarnya Electoral College itu? Electoral College adalah lembaga yang didirikan sejak pertama kali Konstitusi Amerika Serikat ditulis pada abad ke-18. Electoral College didirikan karena pada zaman itu mayoritas penduduk AS masih bersifat agraris dan komunikasi terbatas sehingga tidak semua orang dapat mengetahui mana calon yang baik atau kurang baik, sehingga sebagai solusi para penulis konstitusi atau framersmencetuskan ide dimana seorang pemilih tidak memilih calon presiden secara langsung melainkan memilih elector dari negara bagian mereka. 

Elector-elector ini pun dari sejak kampanye sudah menentukan akan memilih kandidat mana sehingga rakyat pun tahu elector mana yang harus dipilih. Jumlah elector sendiri sama dengan jumlah konggres AS yaitu 535(435 anggota DPR ditambah 100 Senator) ditambah 3 elector dari District of Columbia. Hal ini mendorong calon-calon Presiden biasanya cenderung berkampanye secara ekstensif di negara bagian dengan jumlah electoral vote yang banyak dan di negara bagian yang disebut sebagai swing statedimana Republik maupun Demokrat tidak selalu dominan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah mungkin popular vote atau suara rakyat terbanyak tidak sesuai dengan suara electoral college? Ya sangat mungkin, dalam sejarah AS sudah empat kali terjadi pemilu dimana pemenang electoral college gagal mendapatkan suara rakyat terbanyak. Kasus paling baru adalah pada tahun 2000 dimana George Bush menang tipis 271 terhadap Al Gore 266 meskipun Al Gore menang suara rakyat sebanyak 540.000 dibandingkan Bush. Kasus ini disengketakan oleh tim kampanye Gore yang akhirnya berhasil melaksanakan voting ulang di Florida sebelum akhirnya dihentikan oleh Mahkamah Agung AS.

Peta Electoral vote Pemilu AS tahun 2016. Sumber: http://www.270towin.com/
Peta Electoral vote Pemilu AS tahun 2016. Sumber: http://www.270towin.com/
Sekarang mari bicara pemilu 2016 Donald Trump meraih 306 suara sedangkan Hillary hanya meraih 232. Sangat jauh kan? Bagaimana dengan suara populer? Dilansir dari politico.comhingga tanggal 23 November kemarin, Hillary berhasil mendapat 64,223,958 suara, dibandingkan dengan Presiden Terpilih Trump 62,206,395. DUA JUTA, benar sekali dua juta suara keunggulan Hillary. Bush dan Gore dimana Bush menang tipis, Gore berhasil menang sebanyak 540.000 suara, sedangkan tahun ini dimana Trump menang jauh di electoral college namun suara populer masih dimenangkan Clinton lebih dari dua juta suara memperlihatkan dengan jelas bagaimana sistem pemilu AS masih kurang demokratis dibandingkan dengan negara-negara lain.

Hal ini mungkin nampak sebagai sebuah ironi dimana Amerika Serikat sebagai salah satu negara pertama yang berdiri dengan asas-asas demokrasi sebenarnya masih kalah demokratis dengan negara lain. Zaman memang sudah berubah dan banyak masyarakat yang menuntut untuk meniadakan Electoral College yang dianggap menghalangi demokrasi, namun untuk mengubah hal ini pun tidak mudah karena konstitusi AS sendiri bersifat kaku atau rigid sehingga tidak mudah untuk diubah atau disesuaikan dengan perkembangan zaman sehingga mungkin dibutuhkan waktu cukup lama sebelum hal ini dapat diubah.

Clemens Danang Y.D. XIIF/8

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun