Mohon tunggu...
Clav Digital
Clav Digital Mohon Tunggu... Wiraswasta - Digital Marketing Specialist

Membangun dan mengelola persepsi positif terhadap brand. Mencakup mendorong ulasan positif, melacak penyebutan brand, dan menanggapi komentar pengguna di media sosial, ulasan produk, dan platform lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Pemujaan Berlebihan terhadap Chindo

22 Oktober 2024   10:00 Diperbarui: 22 Oktober 2024   10:40 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena Chindo, sebuah istilah yang merujuk pada keturunan Tionghoa di Indonesia, semakin populer di kalangan masyarakat. Di media sosial, mereka yang berdarah Tionghoa sering kali disanjung dan dipuja, baik karena penampilan fisik, prestasi akademis, hingga kemampuan bisnis yang mereka miliki. Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah masyarakat Indonesia sedang memuja Chindo terlalu berlebihan? Atau apakah fenomena ini mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam struktur sosial kita?

Trend ini bukan hanya sebagai sekadar trend masa kini, tetapi sebagai refleksi dari pemahaman sosial yang kompleks. Fenomena ini tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi. Ada banyak lapisan yang melibatkan sejarah, politik, dan ekonomi yang membentuk bagaimana kita, sebagai masyarakat, melihat dan memposisikan komunitas Tionghoa di Indonesia.

Istilah Chindo yang populer di kalangan milenial dan generasi Z kini, pada awalnya hanyalah label yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki keturunan Tionghoa namun tumbuh dan besar di Indonesia. Namun, dengan perkembangan media sosial dan semakin dominannya figur-figur keturunan Tionghoa dalam dunia bisnis, pendidikan, hingga hiburan, istilah ini perlahan berubah menjadi simbol status dan prestasi.

Sebagaimana disoroti oleh Deutsche Welle (DW) dalam artikelnya, masyarakat Indonesia sering kali menganggap bahwa mereka yang berdarah Tionghoa memiliki keunggulan tertentu dalam bidang bisnis atau akademis. Stereotip ini sebenarnya sudah lama berkembang di Indonesia, di mana orang-orang Tionghoa dianggap lebih "pintar" atau lebih "mampu" dalam hal ekonomi. Walaupun di satu sisi bisa dianggap sebagai penghargaan terhadap kemampuan komunitas tersebut, namun di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat cenderung menggeneralisasi dan mengidolakan satu kelompok berdasarkan etnisitasnya.

Andrea menambahkan, "Ketika kita memuja satu kelompok karena stereotip positif yang melekat, kita sebenarnya tidak hanya memvalidasi stereotip itu, tetapi juga memperkuat jarak sosial antar kelompok. Kita perlu berhati-hati agar pujian ini tidak berubah menjadi eksklusi bagi yang lain."

Tak bisa dipungkiri, peran media sosial sangat besar dalam memperkuat fenomena ini. Banyak figur publik keturunan Tionghoa yang aktif di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, membangun citra diri yang glamor dan sukses. Mereka sering kali dipandang sebagai panutan dalam hal gaya hidup, kesuksesan karier, dan kemampuan intelektual. Popularitas mereka di media sosial tak jarang membuat mereka digandrungi oleh generasi muda.

Dalam salah satu episode di kanal YouTube yang membahas fenomena ini, disebutkan bahwa generasi milenial dan gen Z di Indonesia sering kali mencari figur-figur Chindo sebagai inspirasi gaya hidup dan kesuksesan. Figur-figur ini tidak hanya memiliki pengikut yang besar, tetapi juga dianggap sebagai simbol pencapaian yang ideal. Kombinasi antara penampilan fisik yang menarik, latar belakang pendidikan yang mentereng, dan pencapaian bisnis yang impresif membuat mereka dipandang sebagai "komplet package" dalam masyarakat.

Andrea Wiwandhana, founder CLAV Digital, menjelaskan bahwa fenomena ini sebenarnya mirip dengan Korean Wave, di mana budaya Korea (K-pop, K-drama, K-beauty) menjadi kiblat bagi generasi muda di berbagai negara, termasuk Indonesia. "Ini bukan semata-mata tentang etnisitas atau asal-usul budaya. Ini lebih tentang bagaimana masyarakat kita mencari panutan yang dianggap sukses dan bisa dijadikan role model. Dalam konteks ini, Chindo menjadi simbol aspirasi bagi banyak orang Indonesia," ujar Andrea.

Namun, seperti halnya Korean Wave, pujaan yang terlalu berlebihan bisa mengarah pada objektifikasi individu atau kelompok. Ketika seseorang dipuja hanya karena mereka memenuhi kriteria tertentu---baik fisik, etnis, atau status sosial---maka ada risiko bahwa penghargaan tersebut menjadi dangkal dan hanya melihat permukaan tanpa menghargai esensi manusia itu sendiri.

Fenomena pemujaan terhadap Chindo mungkin terlihat tidak berbahaya di permukaan. Bagaimanapun, masyarakat hanya mengagumi mereka yang sukses, bukan? Namun, jika dilihat lebih dalam, tren ini bisa menciptakan dinamika sosial yang tidak sehat. Pemujaan terhadap satu kelompok bisa menyebabkan marginalisasi kelompok lain yang tidak memenuhi standar atau kriteria yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun