Seminggu belakangan, beberapa stasiun televisi di Italia berlomba menayangkan film-film kisah Freddie Mercury yang meninggal 30 tahun lalu.Â
Baik memutar ulang film layar lebar yang banyak meraih penghargaan tahun 2018 lalu, maupun film-film dokumenter yang mengupas habis kehidupan penyanyi grup Queen yang sangat melegenda.
Tayangan dalam seminggu ini membawa kenangan mundur ke masa lalu. Lebih 15 tahun merantau, hampir 10 tahun berstatus istri pemusik tapi nyaris selama ini saya tak pernah melantunkan lagu-lagu yang masa remaja dulu menjadi favorit.Â
Dulu saat belajar gitar, lagu Love of My Life yang bernada minor, menjadi lagu andalan ketika putus cinta. Atau ketika bertanding voli, sepenggal syair "We are the Champions" bisa memotivasi semangat tim untuk memenangkan pertandingan. Banyak lagu-lagu Queen yang sangat kontekstual bisa dinyanyikan dengan situasi yang tepat.Â
Seminggu ini tiba-tiba rumah kami yang mungil jadi sedikit ingar-bingar karena suara fals saya memaksa untuk menyanyi lebih keras dari suara yang dilantunkan Freddie dan kawan-kawan.Â
Suami pun terheran-heran mengamati bahwa hampir semua lagu-lagu Queen saya hafal luar kepala. Hehe, dulu kalau disuruh menghafal pelajaran susah banget.Â
Tapi kalau menghafal lagu yang biasanya terlampir dalam kemasan kaset, dalam sejam bisa ingat luar kepala. Buku tulis catatan lagu yang selama ini terhimpit di antara buku cetak lain di rak, akhirnya keluar dari persembunyian. Sejak tahun 1985, buku ini setia menemani di mana pun saya tinggal.
Suami saya pencinta jazz. Waktu muda pernah punya grup band. Dia pemain bass dan double bass. Lewat dia, saya jadi mengenal sejumlah nama pemusik bass seperti Jaco Pastorius, Charles Mingus, Ron Carter, Marcus Miller dan lain-lain.Â
Beberapa gitaris kebanggaan dia juga dikenalkan seperti Django Reinhardt, Wes Montgomery, Pat Metheny, Franco Cerri (baru-baru meninggal) dan lain-lain.Â