Tahun ini menjadi tahun kedua tanpa merayakan paskah di Italia. Mungkin juga bagi negara-negara lain karena corona virus akhirnya tak hanya merombak tatanan hidup masyarakat di kota Wuhan dan Italia, tetapi telah merata ke seluruh penjuru dunia. Kemarin Perancis dan sebagian negara Eropa lain juga menyatakan lockdown demi menghindari acara tahunan kumpul keluarga merayakan paskah.
Suasana pandemi dengan label zona merah, telah membatasi gerak dan langkah kami. Kalau biasanya suami-istri membawa anak-anak mereka ke toko untuk memilih coklat kesukaan mereka, kali ini hanya satu anggota keluarga yang boleh keluar masuk belanja di toko atau pusat perbelanjaan. Biasanya saya juga sudah sibuk menyiapkan aneka karya kerajinan untuk dibagikan kepada handai taulan sebagai kenang-kenangan. Tahun ini, juga tahun yang lalu, kegiatan berbagi ini terpaksa dihentikan. Walau hati tulus ingin berbagi, tapi kalau akhirnya merepotkan si penerima atau bisa menjadi bencana, mending urungkan semua niat baik.Â
Gereja pun tidak menyiapkan daun zaitun kepada jemaat pada minggu palma sebab segala sesuatu yang di bawa dari luar rumah harus disterilkan. Oh ya, di Italia tidak ada palma, jadi kami memakai daun zaitun (olive)Â sebagai pengganti daun palma. Bahkan air suci di pintu masuk gereja, telah diganti dengan gel sanitizer. Virus korona telah merombak tradisi dan tatanan hidup yang dipertahankan bertahun-tahun bahkan berabad-abad.Â
Sesuai nama corona yang dalam bahasa Italia berarti 'mahkota', maka paskah pada masa pandemia menyadarkan saya bahwa lebih 2000 tahun yang lalu Yesus disalib bermahkotakan duri. Paskah hari itu, bukanlah pesta yang dirayakan dengan makanan enak dan berlimpah. Malam itu sebelum Yudas berkhianat, Yesus memecah roti, membagikan kepada kedua belas murid sebagai lambang tubuh dan anggur sebagai peringatan akan darahNya.Â
Makan malam terakhir yang sangat sederhana, jauh dari kemewahan. Dan sesudahnya, menjadi hari ratap yang penuh duka dan nestapa sebab orang terkasih yang bahkan mengasihi dan mengampuni mereka yang telah menganiaya Dia, telah menyerahkan hidupNya demi menebus dosa kita semua. Mahkota duri yang dianyam tentara Romawi, berukuran kecil untuk kepalaNya. Namun mereka memaksa untuk memakaikan mahkota ini karena mereka ingin mengolokNya sebagai Raja orang Yahudi.
Matt. 27-27-29: Allora i soldati del governatore condussero Ges nel pretorio e gli radunarono attorno tutta la coorte. Spogliatolo, gli misero addosso un manto scarlatto e, intrecciata una corona di spine, gliela posero sul capo, con una canna nella destra; poi mentre gli si inginocchiavano davanti, lo schernivano: Salve, re dei Giudei!
Mereka menanggalkan pakaianNya dan mengenakan jubah ungu kepada-Nya. Mereka menganyam sebuah mahkota duri dan menaruhnya di atas kepalaNya, lalu memberikan Dia sebatang buluh di tangan kananNya. Kemudian mereka berlutut di hadapanNya dan mengolok-olokkan Dia, katanya: "Salam, hai Raja orang Yahudi!
Makhota adalah lambang kekuasaan, keabadian dan legitimasi. Raja berperang melawan raja demi merebut mahkota untuk perluasan wilayah kekuasaan. Atlet pada masa awal olimpiade, berlomba untuk mendapatkan mahkota sebagai lambang kemenangan. Sebutan sarjana di Italia adalah laureato sebab mereka adalah mahasiswa yang telah lulus menyelesaikan pendidikan dan berhak memakai mahkota daun alloro (laurus nobilis). Wanita masa kini berlomba tampil sempurna dan berdandan menghias diri untuk memenangkan mahkota ratu kecantikan sejagad sebagai simbol legitimasi.
Mahkota yang selama ini menjadi simbol kejayaan, kemenangan dan kekuasaan, saat ini bergeser maknanya. Paskah dua tahun belakangan ini, telah memancing saya untuk lebih peka dengan  lingkungan sekitar kita. Ketika Yesus berseru "Elli Elli lama sabakhtani?", saya membayangkan para korban virus korona yang masih berjuang antara hidup dan mati. Sama seperti Yesus di kayu salib, mereka juga merasa 'sendiri', terisolasi.Â
Walau mungkin sekota, namun terkurung di balik dinding rumah sakit, tak bisa dikunjungi sanak keluarga. Di balik oksigen, mereka mungkin memikirkan orang terkasih untuk mengampuni dan meminta ampun. Derita Yesus dengan mahkota duri, ikut dirasakan saat jarum infus menembus kulit di sekujur tubuh mereka. Rasa haus yang Yesus alami di kayu salib, ikut menyekat kerongkongan mereka yang dipenuhi selang untuk membantu mereka bernafas.
Banyak orang-orang sekitar saya yang sangat riskan terhadap virus ini, termasuk diri saya sendiri. Penamaan 'corona' untuk virus yang tak bisa dilihat secara kasat mata, semoga menjadi refleksi bagi kita semua untuk memahami makna paskah yang sesungguhnya. Tak hanya salib, namun mahkota yang seharusnya berkonotasi serba baik, indah dan mulia yang harus direbut sebagai prestasi, masa kini justru menjadi momok yang harus kita hindari. Perlu waktu 2000 tahun lebih untuk memaknai 'corona' yang berkaitan erat dengan paskah.Â
Selamat menghayati masa Paskah buat yang merayakan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H