Apresiasi luar biasa dari saya untuk Joko Anwar, maestro film Indonesia yang namanya cukup mendunia karena karya-karyanya yang hebat. Salah satunya Pintu Terlarang masuk dalam daftar film-film terbaik dunia oleh The British Institute. Dan di tahun 2010, dengan benih sebuah ide yang tercetus dari berbagai peristiwa di Indonesia, Joko Anwar melahirkan teater musikal ONROP! Ini pertama kalinya saya nonton teater musikal, dan tampaknya ONROP! menjadi kesuksesan pertama di Indonesia yang menggelar teater musikal seperti Teater Broadway-nya Amerika. Saya bahkan tidak tahu seperti apa sesungguhnya Broadway, tapi mungkin saya bisa merujuk pertunjukkan Moulin Rouge, sebuah pentas drama musikal yang terkenal. Okay, saya tidak akan mencoba mengritisi teater musikal ONROP! sebegitu dalam. Saya memang tidak mengerti apa-apa tentang teater. Sebelumnya saya pernah beberapa kali nonton teater, tapi saya hanya jadi penikmat. Maka di tulisan ini, saya cukup sedikit menggambarkan apa itu ONROP! dan kenapa banyak orang yang mengacungkan jempol untuk karya Joko Anwar ini. Pertunjukkan ini bernama resmi "ONROP! Musikal", bisa saya lihat dari tiket dan booklet yang dibagikan sebelum pertunjukkan. Digelar di teater besar Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki dengan harga tiket yang tidak murah, ONROP! menjadi hiburan yang cukup ekslusif. Tapi, hampir semua segmen berminat menonton teater ini, tidak hanya orang-orang pecinta seni teater. Mungkin, karena promosi yang gencar lewat media sosial seperti twitter. Maka, tak salah ONROP! Musikal menjadi populer. ONROP! bercerita tentang cinta dan kebebasan berekspresi di sebuah negeri Indonesia dengan setting Jakarta tahun 2020. Cinta yang getir antara Bram dan Sari. Bram adalah seorang novelis religi yang terkenal dan mempunyai asisten bencong/gay bernama Amir. Tapi, berhubung mereka tinggal di sebuah negeri dengan aturan moralitas yang sangat tinggi, Amir harus menyembunyikan identitasnya. Bram juga sangat menjaga hubungan pacarannya dengan Sari. Bram tak mau ada polisi moral menangkap basah mereka bermesraan. Bahkan Sari pun tak dianggap pacar oleh Bram. Karena Bram takut dicurigai oleh polisi moral melakukan tindakan onropgrafi dan onropaksi. Bram tak mau nanti mereka dihukum lalu dibuang ke Pulau Onrop. Tapi, Sari yang pecicilan dan pembangkang hampir saja dibawa ke kantor polisi moral. Sari makan hati dengan sikap Bram yang dingin, dan nggak mau tahu kalau sikapnya akan membawa masalah di kota yang menjunjung tinggi moralitas. Sebagai warga yang baik, Bram sangat mematuhi apa pun peraturannya. Desas-desus Pulau Onrop yang seperti neraka, membuatnya benar-benar menjaga diri untuk tidak melanggar norma kesusilaan. Tapi, ketika ia meluncurkan novel terbarunya, kesalahan fatal terjadi, tentu menurut polisi moral. Karena kata t-e-te-l-a-la-n-j-ang-njang, Bram dianggap bersalah. Padahal menurut Bram, kata itu hanyalah kiasan. Tapi, kata apapun yang menggambarkan onropgrafi dan onropaksi dilarang keras di negeri itu. Bram dihukum dan dibuang ke Pulau Onrop. Namun, ketakutan akan Pulau Onrop akhirnya sirna setelah Bram merasakan sendiri tinggal di Pulau Onrop, pulau yang penuh cinta dan kebebasan berekspresi. Kalaupun berbeda, yang penting di sana adalah adanya toleransi. Secara keseluruhan, cerita ini adalah kritik sosial untuk Indonesia. Hilang kemana toleransi? Apakah hanya satu kebenaran yang diakui? Bagaimana dengan keberagaman? Apakah berkesenian dianggap sebuah erotisme? Kenapa untuk belajar reproduksi pelajaran biologi, anak-anak SMP hanya menyebut kata ganti "ho'oh" untuk kelamin? Apakah salah mengeksplorasi kata-kata kelamin? Kenapa tidak boleh ada gay/lesbian? Kenapa banyak orang yang bertindak seolah-olah jadi polisi moral padahal di belakang jadi orang yang juga bejat? Kenapa orang-orang berlomba-lomba jadi politikus untuk mencari kekuasaan padahal gelandangan tetap bertambah banyak? Kenapa moralitas demikian dijunjung tinggi sampai tak masuk akal? Saya pun teringat dengan cerpen "Negeri Sastra oleh Cer-Penis" yang saya tulis tanggal 14 Juli 2010 dan pernah tayang di Kompasiana tapi kemudian saya hapus karena telah dimasukkan ke dalam buku pertama saya Lajang Jalang,
"Kau tahu, karyaku yang menyelipkan satu kata kelamin saja dilarang! Diberanguskan! Apalagi, karya kau yang judulnya saja sudah memancing kerusuhan?! Bisa-bisa kau dirajam sama mereka!" (kutipan dari "Negeri Sastra oleh Cer-Penis", Lajang Jalang.)
Hal yang meresahkan bagi seniman tentu akan jadi cetusan untuk mencipta sebuah karya. Keresahan tentang keadaan di Indonesia sekarang inilah yang menjadi kekuatiran Joko Anwar di masa depan. Tak adanya saling menghargai perbedaan, adanya "polisi-polisi moral" yang bertindak sewenang-wenang dan menganggap hanya ada satu kebenaran. Demikian ONROP! kembali mengingatkan tentang cinta sesama, toleransi dan keberagaman yang Bhinneka Tunggal Ika. Ah, jangan kuatir, walau sarat kritik, ONROP! tetaplah sebuah pertunjukkan hiburan. Teater musikal dengan iringan musik orkestra dan choir langsung, pemain dengan suara yang menggetarkan dan aksi tari yang indah, serta latar panggung dan desain kostum yang benar-benar dirancang dengan apik. Lagu-lagunya tak sembarang aransemen, baru sekali dengar banyak lagu yang saya sukai, seperti "Bram baby, one kiss please!", "Kalau nggak ada kamu, apa gunanya!" dan "Terbuang". Well, ada romantisme di ONROP, kok!
"Paris ada menara Eiffel. Stasiun Gambir banyak hijaunya. Di rumah bisa makan waffle. Kalau nggak ada kamu, apa gunanya!" (Kalau nggak ada kamu, apa gunanya!, ONROP! Musikal)
Sisipan dialog yang humoris juga mengundang tawa para penonton. Sindiran-sindiran terhadap peristiwa-peristiwa terbaru juga mengisi ONROP! Musikal, seperti kekocakan seorang tokoh yang menolak salaman dengan perempuan yang tidak muhrim. Overall, ONROP! Musikal itu adalah bentuk teater yang mudah diterima dan dicerna oleh siapa pun, sebuah kegelisahan yang ingin disampaikan oleh para seniman tentang kebebasan berekspresi dengan cerita yang tak rumit. Saya sendiri, berhubung juga sering menulis bebas kata-kata selangkangan dan vulgar, setuju dengan gagasan Onrop ini. Tapi, tetap diharapkan jangan sampai bebas kebablasan. Moralitas itu tetap penting. Jangan pula sampai mencela kaum lain yang hidup dalam lingkup keterbatasan gerak. Memang tidak ada satu kebenaran yang mutlak dalam kehidupan ini. Setiap orang punya kebenaran sendiri-sendiri, bahkan mungkin cari pembenaran-pembenaran untuk sikap yang ia pilih. Apapun, ternyata toleransi itu memang berperan penting. Tujuannya tak lain adalah cinta dan kedamaian seperti di Pulau Onrop. Well, ONROP! Musikal tampaknya berhasil membuka mata kita kembali. Yang paling penting, ONROP! Musikal berhasil menghibur kita semua yang kering dengan hiburan-hiburan yang berkualitas dengan wujud teater musikal. Jarang-jarang, kan?! Maka, layaklah bila penonton memberi standing ovation untuk tim ONROP! Musikal. Dan salut untuk Joko Anwar dengan segala 'kesintingan'nya. [caption id="attachment_76244" align="aligncenter" width="720" caption="ONROP! ends.."][/caption] PS: gatal pengen foto para pemain sesaat pertunjukkan usai. Angkat topi untuk semua pemain ONROP! PPS: Masih ada Minggu esok hari terakhir pertunjukkan ONROP! Musikal! Layak tonton, kok! Hehehe...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H