Mohon tunggu...
Helvira Hasan
Helvira Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan Biasa!

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kesaksianku Hanya di IGD

7 Januari 2011   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:51 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294419008320968327

[caption id="attachment_83549" align="alignright" width="200" caption="Ilustrasi/Admin (rsharapanbunda.com)"][/caption] Ruang Trauma Instalasi Gawat Darurat, di sini aku berada malam ini. Bukan, aku bukan dokter jaga. Aku juga bukan perawat. Aku hanya seorang biasa yang mendadak harus ke rumah sakit karena seseorang. Seseorang yang tak kukenal. Seseorang yang entah siapa. Ia, di atas kasur itu, mengerang kesakitan. Ia, lelaki dengan tubuh cukup kekar, meronta minta tolong. Ia memanggil dokter untuk kesekian kalinya. "Dokter, dokter, tolong saya. Sakit, dok!" "Ya, Tuhan, ampun, Tuhan. Sakit sekali, Tuhan!" Erangan-erangan yang tadinya kencang lambat laun melemah. Bulu kudukku bergidik. Malaikat maut mungkin sedang berada di sekitarku. Lelaki itu apakah tak tertolong lagi? Lukanya memang sangat parah. Kaki sebelah kirinya nyaris hancur. Jika jiwanya tertolong, mungkin kelak ia tak punya kaki lagi sebatas lututnya. Posisinya terpaksa berbaring miring ke kanan. Sebuah lubang berukuran diameter gelas menganga di sekitar pinggang sebelah kiri yang terus menerus mengucurkan darah, walau telah banyak tampon yang disumpalkan. Aku tak mengerti kenapa para perawat tak melakukan banyak. Mereka hanya membantu memasukkan ke dalam ruangan, membersihkan luka-luka, dan menjahitnya bila terbuka lebar, memasangkan infus pengganti cairan yang terus keluar lewat lubang yang besar di pinggang lelaki itu. Dokter jaga ketika memeriksa pun kulihat menggelengkan kepala. Lalu, sibuk menuliskan entah apa di lembaran kertas yang entah apa juga. Aku tak tahu, aku pun tak mengerti. "Dok, bagaimana ini? Tolong saya, dok! Sakit sekali, dok!" "Ya, Tuhan, sakiiiit, Tuhan. Ampuni aku, Tuhan! Oh, tidak... sakiiiit! Sakit sekali, Tuhan. Ampun, tuhan!" Erangan-erangan yang membuatku merinding. Aku mungkin bukan siapa-siapa bagi lelaki itu. Namun demikian, aku tetap berharap ia bisa diselamatkan. Aku tak tahan melihatnya menahan sakit yang tak terperi walau aku cuma pengantarnya ke rumah sakit. Aku seorang sopir mikrolet yang sedang bertugas ketika melihat lelaki itu tergeletak di jalan beraspal. Di sebelahnya sepeda motornya rebah dengan rodanya masih berputar. Aku bukan saksi mata kejadian. Orang-orang sudah ramai mengerubungi bagai semut-semut ketemu gula. Mikroletku yang kosong pun dijadikan transport bagi lelaki itu untuk ke rumah sakit. Kasihan sekali, pikirku. Ia korban tabrak lari. Kudengar suara lelaki itu lirih berkata, ia ditabrak truk tronton. Karena itulah sekarang aku berada di sini, aku disuruh pihak keamanan rumah sakit untuk menungguinya setidaknya sampai keluarga korban datang. Sebuah KTP di tangan Pak Satpam sepertinya jadi informasi bagi pihak rumah sakit untuk menghubungi keluarga korban. Lelaki itu masih mengerang kesakitan. Tak ada bantuan apa-apa lagi yang dilakukan tim medis. Mungkin benar, tak tertolong lagi. Dari kacamata awamku, aku sebenarnya penasaran bagaimana harus menutup luka sebesar itu. Kulitnya telah hilang. Isi perut pun terburai sampai tampon-tampon putih menyumpalnya. Darah segar mengalir. Tubuhnya makin pucat. Cairan infus tak sanggup lagi menggantikan darah yang keluar. Suaranya makin pelan. Ia tak banyak lagi mengerang. Ia pastilah sangat kelelahan. Berteriak dalam keadaan sakit yang teramat parah itu. Mungkin waktunya segera tiba. Malaikat maut mungkin sedang bersiap-siap. Bulu kudukku meremang. Merinding ketika kesunyian melanda. Aku berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka lebar, menyaksikan sebuah perpisahan ruh dengan raganya. Lelaki itu tak bernafas lagi. Keluarganya belum satu pun yang datang. Ia meninggal tragis, sendiri, di ruang dingin ini. *** Jkt, 3 Januari 2010 "Kematian begitu dekat."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun