Hari terakhir. Saya berharap ini benar-benar hari terakhir. Tiada lagi esok. Tiada lagi terbitnya mentari di pagi hari. Tiada lagi asa yang akan dinanti. Hari terakhir. Sayang, hari terakhir ini bukanlah benar-benar hari terakhir. Hanya tertanggal 31 Desember 2010. Nanti malam pergantian tahun. Dan, ya, sekarang hari terakhir. Terakhir di tahun ini.
Detik bergulir, dari menit ke menit, tinggal beberapa jam lagi, hari terakhir ini kian berakhir. Bisakah berhenti sebentar? Sebentar saja saya memohon. Ada yang tertinggal di belakang. Bisakah saya menjemputnya lalu saya bawa berlari ke hari ini, hari terakhir? Bukan! Bukan menjemputnya! Saya tak akan membawanya sampai ke sini. Saya hanya perlu kembali ke belakang. Ada yang tertinggal, memang, tapi untuk memperbaikinya. Biar tak ada penyesalan menggunung yang saya rasa ketika hari terakhir ini berakhir. Bisakah? Bisakah, Tuhan?
Ah, ini masalah saya dan waktu. Bukan masalah saya dengan Tuhan. Tapi, bukankah Tuhan pemberi waktu? Lupakan! Saya hanya ketakutan. Pantas saja saya memohon pada-Nya. Ketakutan bahwa saya manusia berlumpur salah. Hari terakhir ini, kesalahan itu kian menghantui, di saat hari terakhir semakin berakhir. Beberapa jam lagi. Tak ada yang berubah. Kesalahan itu kian menyesak dada saya. Tak ingin begini. Jadi, bolehkah saya berharap ini benar-benar hari terakhir? Musnahkan segalanya. Waktu terpakai percuma. Tak ada yang akan berubah lagi. Hanya kesalahan yang mengubah saya, menjadi saya tanpa asa. Hari ini hari terakhir. Jika saya tak bisa kembali ke waktu itu, jika waktu tak bisa berhenti sebentar, jika sesuatu yang di belakang itu kian membenamkan saya ke dalam penyesalan, maka biarkanlah saya jadikan hari ini benar-benar hari terakhir. Bukan bagi siapa-siapa, cuma bagi saya.
Hari ini hari terakhir, di tahun ini. Esok tiada yang tahu. Mungkin hari ini benar-benar hari terakhir. Tiada esok. Harapan-harapan sirna. Esok memang tiada yang tahu. Percuma saja segala asa. Saya tak akan berubah. Tak ada yang akan berubah. Sesuatu yang di belakang telah mengubah segalanya menjadi tak berubah. Hari ini hari terakhir. Benar-benar terakhir bagi saya. Selamat tinggal.
***
Saya terbangun. Di suatu tempat penuh cahaya. Menerangi, pun menyilaukan. Tercium wangi semerbak. Alunan kepak sayap kupu-kupu. Mengitari bunga yang terkembang. Kabut-kabut di sekitar saya, tak ada penampakan apa-apa, selain cahaya yang benderang dan seekor kupu-kupu bertengger di kelopak bunga yang entah apa namanya. Di mana saya? Kupu-kupu berwarna putih, pernahkah kau lihat? Ia terbang mengelilingi kepala saya. Saya menolehkan kepala ke mana pun ia terbang. Memperhatikan kupu-kupu berwarna putih. Ingin saya bertanya, di mana saya?
"Kau tak di mana-mana," suara lembut entah dari mana. Suara yang tak asing. Siapa yang bicara. Kupu-kupu itu masih terbang ke sana ke mari mengitari kepala saya. Suara iakah? Kupu-kupu bicara bersuara? Suara hati saya terdengarkah olehnya, siapa pun yang menjawab itu?
"Siapa kau?" tanya saya penasaran.
"Kenapa kau datang ke sini, anak muda?"
Benar kupu-kupu itukah yang bicara? Bodoh sekali pertanyaannya. Saya bahkan tak tahu tempat macam apa ini. Tanah yang saya pijak terasa dingin. Kabut-kabut putih menyelimuti. Hanya saya, sekuntum bunga berwarna putih yang menjulur dari dalam tanah merah, seekor kupu-kupu yang juga berwarna putih yang terus mengepakkan sayapnya.
"Kau kebingungan? Tidak usah bingung, anak muda. Kau sedang berada di satu dimensi yang tak akan dikunjungi siapa pun. Hanya kau. Dalam mimpimu, dalam dimensi tanpa waktu."