Mohon tunggu...
Helvira Hasan
Helvira Hasan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Perempuan Biasa!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Andante: Sensasi! Mengejutkan! Terperangah!

31 Desember 2009   05:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:41 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

<!--[if gte mso 9]> <![endif]-->

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE <![endif]--><!--[if gte mso 9]> <![endif]-->

Dalam perjalanan menguntit Jovita pulang ke rumahnya, sejenak aku berubah pikiran. Kenapa aku harus repot-repot melakukan ini? Meyakinkan teman-temanku untuk membantu Jovita, yang sebenarnya membantuku memecahkan misteri Jovita. Toh, aku tak berniat jadi pahlawan kesiangan yang tanpa disadari semua orang aku berupaya membuat Jovita berprilaku wajar. Aku jadi berpikir apakah aku punya hak untuk mengatur hidup Jovita? Dan apakah aku hanya membuang waktu untuk hal tak penting ini? Atau mungkinkah membantu Jovita menjadi hal yang penting? Membantu Jovita bukankah berarti juga membantuku melawan egoku sendiri? Melawan ego ketidakpedulian terhadap sesama? Melawan ego untuk asyik sendiri padahal ada teman yang sebenarnya menderita disana? Tapi, apa iya Jovita menderita? Ya, inilah awalnya. Setidaknya aku harus tahu dulu apakah Jovita bahagia dengan keadaanya. Urusan setelah itu nanti saja dipikirkan. Sekarang aku dan ketiga sahabatku menuju ke kediamanan si ‘es batu’.



Seharian di sekolah tadi, isyu-isyu kutukan Jovita juga mulai memudar. Bahkan, Wina yang tadinya sangat protektif untuk tidak mendekati Jovita, malah mengingatkanku rencana berkunjung ke rumahnya. Tapi, tetap saja, teman-temanku itu menolak menemaniku masuk ke dalam rumahnya. Ternyata, masih saja mereka mengingat kutukan itu.


“Dante... menurut lo, mungkin gak kalo si ‘es batu’ itu cuma cari sensasi. Secara anak baru, biar langsung terkenal gitu.” Celetuk Aira yang memang suka menganalisa sesuatu secara mendalam. “Gue rasa tuh anak pura-pura aja menyendiri, lalu jadi bahan perhatian orang satu sekolahan. Dan setelah merasa terkenal, suatu hari, ia pun menjelma menjadi putri cantik yang datang ke sekolah dengan kereta kuda yang indah.” Dan Aira mulai mengkhayal. “Orang-orang takjub, dan ia pun menaklukkan sekolah dengan pesonanya.”



“Mungkin aja, Ra. Tapi, norak lo! Masa sama kereta kuda! Lo kira kerajaan? Dodolitaaaaaa!!!” nyaringlah tawa kami semua karena ucapan Cherry dari belakang kemudinya.

“Tapi, bisa jadi, lho. Si Jovita itu hanya cari sensasi biar terkenal di sekolah. Aku perhatiin kok, Jovita itu lumayan cantik. Siapa tau itu emang taktiknya buat jadi primadona sekolah.” Komentar Wina. Aku sependapat juga dengan mereka.

“Dari yang tadinya anti-sosial, eh, malah jadi sosialitanya sekolah ya?” ujarku manggut-manggut. Lalu, apakah penyelidikan ini dilanjutkan? Lanjutkan saja.

“Malah lebih gaul dari kita tuh. Nasib...nasib...” sambung Aira, si fashionista di antara kami berempat.



Sampailah kami di tujuan. Dan betapa kagetnya kami, melihat Jovita turun dari mikrolet di depan sebuah rumah besar yang megah. Makin terperangah, melihat Jovita masuk ke dalam rumah itu melalui pintu gerbang yang dibukakan seorang satpam. Jovita tampak dihormati oleh satpam itu. Anak orang kaya. Huff... Jadi apa yang salah pada anak itu? Jelas dia tidak minder karena miskin. Makin misterius aja sosok si Jovita ‘periang’, namamu sungguh tak menggambarkan pribadimu.



“Tuh kan, bener! Jovita itu hanya cari sensasi di sekolah kita. Palingan gak lama lagi, ia ke sekolah dengan mobil mentereng, dengan gaya stylish, jadi primadona sekolah deh.” Aira mulai bicara agak emosional.

“Hmm...jangan gegabah gitu menyimpulkan sesuatu.” Saran Cherry. “Mungkin ada hal lain yang kita gak tahu.”

“Tapi, aku tetap gak mau masuk ke dalam rumah itu. Aku rasa kutukan itu benar adanya.” Aduh Wina, masih saja percaya kutukan itu ada. Membuat Aira dan Cherry jadi mengangguk setuju. Baiklah teman, aku akan kesana sendirian. Semoga saja aku mendapat jawabannya.



Kulangkahkan kedua kakiku dengan mantap. Aku tak berharap Jovita akan menyambutku dengan ramah layaknya kedatangan tamu. Aku juga tak berharap Jovita akan memperlakukan seperti tamu, dipersilahkan masuk ke dalam, disajikan minuman dan makanan kecil, dan berbicara basa-basi. Aku hanya berharap Jovita mau menemuiku, lalu bicara apa adanya. Setidaknya bicara sedikit saja beberapa kata. Mungkin itu cukup memuaskanku untuk penyelidikan hari pertama. Ah... jadi kerasa reality-show di tv saja aku ini.



Namun, apa yang diharapkan memang tidak selalu jadi kenyataan. Nyatanya, Jovita tidak mau menemuiku sedetik pun. Tidak keluar dari rumah. Bahkan satpam mengusirku keluar. Kejam sekali. Ingin rasanya aku mengumpat disana. Tapi, tak bisa. Aku membatin, Ya Tuhan kenapa jadi begini. Apa aku tidak berdoa sebelum menjalankan niatku? Maaf Tuhan. Mungkin tak perlu menolongku, tapi tolonglah Jovita, Tuhan. Beri dia kelembutan agak sedikit saja biar dia mau bicara. Aku tak percaya kutukan itu. Aku percaya ada Engkau yang melindungi kami. Aku berjalan lunglai ke tempat mobil Cherry yang diparkir di seberang rumah Jovita. Mereka sudah menunggu. Menunggu cerita dari kejadian yang baru aku alami. Ah, sungguh memalukan. Mungkin mereka akan mentertawakan aku. Aku begitu ngotot. Tidak mendengar mereka. Aku masih berdiri mematung di belakang mobil. Tak lama mereka keluar. Aku tampak tak berdaya. Dan mereka pun datang memelukku erat. Mengajakku pulang.



“Terimakasih Tuhan. Terpujilah Tuhan.” Hanya itu doa yang sanggup kubatinkan. Aku lemah.



Mereka bilang aku hampir terkena kutukan Jovita. Tidak. Sebenarnya aku tidak apa-apa. Saat itu aku tak menyangka akan diperlalukan seperti itu. Tidak dianggap. Diusir. Sangat menyebalkan si ‘es batu’ itu. Aku baik-baik saja malam ini setelah kejadian tadi siang. Memang aku jadi tak banyak bicara waktu di jalan bersama mereka. Makanya mereka pikir aku nyaris kena kutukan. Tetap saja itu tak membuatku percaya dengan kutukan itu. Aku jadi lebih banyak berpikir tentang keganjilan anak baru itu. Sempat membuatku patah arang untuk meneruskan penyelidikanku. Padahal aku bukanlah orang yang terlalu ngotot akan suatu hal. Tapi, jelas perlakuan yang baru ku terima membuatku semakin penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun