Sudah berminggu-minggu berlalu, sosok Jovita masih menyita perhatianku. Kenapa ia begitu? Tak pernah sekalipun ia bergaul. Pergi sekolah sendiri, melakukan apapun sendiri, pulang sekolah sendiri. Menjadi korban bullying oleh anak-anak nakal pun, ia tak peduli. Ia tak pernah melawan. Ia tetap diam. Kalau ia memang lebih suka sendiri, lebih baik ia home-schooling saja. Tampangnya seperti seorang kutu buku. Ya, banyak lihat di film-film remaja tentunya bagaimana tampang seorang nerd. Jangan pernah melupakan kacamata! Hmm... Coba saja ia menggantinya dengan soft-lense, lalu sedikit bergaya, kurasa ia sejajar cantiknya dengan gadis-gadis yang mengaku primadonanya sekolah, yang digandrungi cowok-cowok borjuis yang bawa mobil mentereng ke sekolah. Sebenarnya primadona-primadona itulah yang mengincar para borjuis sekolahan, bukannya para borjuis yang mengincar primadona, walaupun kelihatannya seperti itu.
Kok, aku jadi membicarakan strata di sekolahku? Untunglah aku bernama Andante. Ibuku benar, lebih baik aku diberi nama Andante. Ibu berharap aku menjadi seorang yang moderate. Menjadi penengah. Tidak menjadi liberal sayap kanan, ataupun menjadi radikal sayap kiri. Tidak menjadi penindas di atas, ataupun menjadi terjajah di bawah. Berada di tengah-tengah, biar aku bisa menjadi yang terbijakkan.
Di sekolah, aku bukan termasuk kelompok golongan atas yang sering melagak dan kadang menindas. Aku bukan juga termasuk kelompok golongan bawah yang sering malu dan kadang terjajah. Dan aku bisa bilang aku pun bukan pengecut sekolahan. Jika si penindas begitu keterlaluan, aku akan melawannya. Jika si terjajah begitu ketakutan, aku akan mengingatkannya biar tak tertindas terus. Antara dua sisi, bukankah memang selalu ada penengah. Ya dalam kategori itulah aku -jika murid-murid disini memang harus dikategorikan-moderate... Andante.
Aku mulai jengah melihat Jovita yang selalu diam. Bahkan ketika sekelompok cewek-cewek kurang kerjaan yang mengganggunya. Kegiatan rutin setelah menghabiskan bekalnya adalah membaca komik. Tapi, lihatlah, Alicia, Margareth, Cassy, dan Inggrid, dengan lancang merampas komik yang sedang Jovita baca.
"Eh...Jovita si rayap kelas ini sedang baca komik Conan nih!"
"Ya ampun, eh cunguk, bacaan lo gak ada yang lain?"
"Budeg ya! Gak denger kita ngomong apa? Jawab donk!"
"Bisu apa ya? Lo salah masuk sekolah? Ke SLB aja sana kalo gak bisa ngomong!"
Aaarrrgg....aku tak peduli itu siapa bicara apa. Jovita, melawanlah! Jangan diam terus! Sudah 2 bulan, masih saja betah membisu. Ada apa Jovita? Aku pun jadi muak mendengar ocehan-ocehan mereka. Kenapa tak dibiarkan saja kalau ia memang tak mau bicara.
"Terima kasih Tuhan. Kekuatan dan keberanian-Mu mengalir di darahku. Terpujilah Tuhan telah menjadikanku kuat dan berani."
"Hey...teman. Udah donk! Jangan digituin! Kali Jovita emang bisu. Udah sana, liat deh di depan kelas XII-B ada cowok inceran kalian lagi ngumpul." Tak sabar akhirnya ku tengahi juga dua sisi barusan. Senang mereka mau mendengarkan, langsung saja mereka berlalu dari Jovita. Toh, memang lebih baik mencari perhatian cowok-cowok di seberang sana, daripada mencari perhatian Jovita. Jovita pun kembali membaca komiknya. Aku pun duduk di bangku kosong sebelahnya. Aku tak begitu tertarik dengan komik. Membuatku cukup bingung topik obrolan apa yang harus ku mulai dengannya.
"Jo, lo gak kenapa-napa, kan?" sebenarnya aku mulai geram lihat kebisuannya. Tapi, usaha terus. Mungkin ia akan berubah. Kasihan lihat ia begitu terus, diperolok-olok, dikerjain teman-teman. Seandainya ia mau lebih ramah. Semoga usahaku bisa merubah sikap anti-sosialnya.
"Jo!" panggilku lagi. Sejak awal, aku selalu menyapanya dengan Jo. Lebih ringkas. "Kenapa sih kamu begitu?"
Masih diam. Ya, ya, ya, terus saja kau mengabaikanku, kawan. Wali kelas kami sudah tahu mengenai perangai Jovita. Tapi, Jovita tetap tak berubah. Ia hanya bicara dengan guru-guru, itupun seperlunya. Lalu, membisu jika berhadapan dengan teman sekelasnya. Benar-benar menunjukkan bahwa ia tak mau bergaul dengan siapa pun. Menjadi seorang diri sepertinya membahagiakannya.
Tak lama kemudian, sahabat-sahabatku datang. Selesai makan di kantin. Cherry cukup terkaget-kaget melihat aku duduk di sebelah Jovita. Aira pun tampak ingin menjauhkanku darinya.
"Danteeee... kamu ngapain? Suka ya kamu dicuekin sama freak itu?" teriak Wina, sambil menarik lenganku, mengajakku berdiri dan duduk jauh dari Jo.
"Duh...apa-apaan sih kalian?" gerutuku. "Aku tuh barusan pengen nyoba deketin Jovita, siapa tau ia mau ngomong."
"Gila ya lo! Udah gak usah capek-capek deh ngurusin tuh anak." Omelan Wina pelan. Dan ia pun makin bicara pelan, hampir berbisik. "Di kantin tadi anak-anak pada heboh denger cerita... siapa sih Ra, Cher, yang ngomong, kalo Jovita itu dikutuk menjadi penyendiri, dan setiap orang yang mendekatinya, bergaul dengannya, orang itu pun akan terkutuk dengan sendirinya menjadi penyendiri yang dingin seperti Jovita. Semacam reverse-curse!"
Gelegar tawaku pun membahana. Tak sopan memang. Aira dan Cherry mencoba meyakinkanku. Tentu saja itu hanya omong-kosong. Aku malah heran, mereka kok percaya begitu saja tentang kutukan. Zaman kegelapan sudah berlalu, teman. Tak ada lagi penyihir-penyihir. Dan tentunya tidak ada kutukan. Tuhan telah menerangi dunia kita sekarang.
"Terima kasih Tuhan. Cahaya-Mu sungguh menerangi. Terpujilah Tuhan telah menjauhkanku dari gelap."
Oh...sungguh membuatku bingung. Bagaimanapun isyu itu harus diberantas, tak boleh dibiarkan. Tidak ada lagi kutukan-kutukan semacam itu, reverse-curse segala. Wina yang ku kenal sangat logis itu malah ikut terpengaruh sama isyu kacangan. Jovita, cobalah beri penjelasan, patahkan isyu itu. Ah, mungkin sebaiknya ia juga tidak usah peduli dengan isyu itu, semakin ia ladeni malah semakin hangat isyu itu beredar. Jadi, kuputuskan untuk mencari kebenaran langsung dari Jovita.
"Temans, aku punya ide nih." Usulku ketika suatu malam aku dan sahabat-sahabatku mengadakan pijamas party di rumah Cherry. Mereka penasaran. "Gimana kalo kita main ke rumah Jovita?"
"Aargh... tidak!" teriak Wina. "Amit-amit, Dante! Aku gak mau ketularan kutukannya!"
"Iya! Ngapain coba kita kesana cuma nantinya dicuekin. Ruginya juga kita malah ketularan kutukannnya." Komentar Aira setuju. Aku menunggu pendapat Cherry.
"Bener, Dan. Udahlah, biarin aja Jovita begitu." Ah, teman-temanku tidak setuju semua. Bagaimana ini?
"Ayolah. Masa kalian percaya aja sih isyu kutukan itu. Sekarang 2009, teman, bukan abad pertengahan yang memburu para penyihir untuk dibakar hidup-hidup, bukan jaman kegelapan dimana orang-orang begitu takut dengan kutukan. Jovita itu, bagaimanapun teman kita. Kita harus bantu dia. Kita gak boleh biarin Jo terus-terusan jadi buah bibir di sekolah, jadi olokan, jadi penyendiri tanpa teman."
"Ya, dianya mau begitu, gak mau ada teman." Sela Aira.
"Pokoknya, aku akan membantu Jovita. Aku rasa dia punya masalah yang harus kita bantu selesaikan. Siapa tahu, dia pernah trauma ditinggal sahabat. Menjadi anti-sosial. Menjadi penyendiri. Kalau orang-orang bertindak menjauh dari dia, pantesan aja Jovita gak pernah sembuh dari traumanya. Tugas kita sekarang, bantu dia, ada kok orang-orang yang bisa berteman dengannya." Analisa cetek-ku sepertinya didengar dengan baik oleh sahabat-sahabatku. Semoga saja mereka sependapat.
"Kamu bandel ya, Dan." Celetuk Wina. "Ok, kita dukung kamu. Tapi, aku gak mau terlibat lebih jauh. Kamu mau ke rumahnya silahkan, kita temenin kesananya, tapi, aku gak mau masuk ke dalam rumahnya."
"Lo aja Win. Gue gak mau ah!" elak Aira.
"Udah, Ra, gak ada salahnya juga kita nemenin Dante kesana. Kita nunggu di mobil aja, dan biarkan Dante pedekate dengan Jovita. Hahaha..." membahanalah tawa para gadis karena sindiran Cherry.
"Terima kasih Tuhan. Kelembutan hati-Mu meresap di jiwa. Terpujilah Tuhan telah mengirimiku sahabat-sahabat terbaik."
Di kegelapan malam, dalam lelapnya tidur mereka, aku masih penasaran siapa yang mengedarkan rumor palsu itu. Seantero sekolah percaya begitu saja, walaupun kehebohan rumor itu beredar dalam hening. Karena tak seorang pun guru mencoba menjelaskan kebenaran yang ada. Tak seorang juga yang berani bertanggung-jawab atas isyu itu. Bahkan Jovita sendiri. Ah, tentu saja, ia akan tetap diam. Dari mana awal mulanya?
Kutukan? Apa itu kutukan. Setahuku, hanya penyihir yang bisa memberi kutukan. Sudahlah! Malam ini, aku terlalu letih untuk memikirkan hal tak penting itu. Saatnya tidur, lalu bermimpi. Tentunya mimpi indah. Dan berharap suatu ketika, mimpi indah itu jadi kenyataan. Walaupun sebenarnya, aku sendiri tak begitu tahu mimpi indah apa yang kuinginkan. Toh, hidupku sekarang sudah cukup indah ku rasakan. Orangtuaku sempurna, mereka menyayangiku. Sahabat-sahabatku begitu mengerti aku apa adanya. Tak ada yang menjahatiku. Mimpi indah apa lagi yang aku harapkan jadi kenyataan?
Mungkin, ini masih mungkin, seorang kekasih akan membuat hidupku lebih indah. Usiaku memang belum genap 17 tahun. Tapi, sebentar lagi, kira-kira 7-8 minggu lagi, resmilah aku dinyatakan dewasa. Entah aturan darimana yang menyatakan 17 tahun berarti dewasa. Bukankah, kedewasaan itu adalah pilihan hidup, dan 17 tahun berarti hanya bertambah umur atau berkurangnya jatah hidup? Kalau aku mau, dalam usiaku sekarang, aku bisa saja memilih untuk jadi dewasa. Dewasa dengan cara mampu memahami orang lain, seperti memahami keadaan Jovita misalnya. Atau dewasa dengan cara mulai menjalin suatu hubungan serius dengan seorang cowok. Tapi, untuk opsi terakhir ini, ku pikir memang belum saatnya. Banyak memang teman-teman seusiaku yang memilih untuk berpacaran. Dan itu pun hanya cinta monyet menurutku. Dan apakah aku akan ikut-ikutan? Kenapa tidak? Apa salahnya berpacaran? Orangtuaku tak melarang. Cinta monyet itu penting. Penting untuk nanti di hari tua dikenang kelucuan dan kebodohannya. Apa itu mimpi indah yang kuinginkan malam ini? Bertemu dengan pangeran tampan? Ah...semoga saja. Have a sweet dream, Dante.
"Terimakasih Tuhan. Karunia-Mu sangat luas. Terpujilah Tuhan telah memberi semangat hidup seharian ini. Lindungi aku dalam tidurku."
...bersambung...
sumber gambar http://www.sidelineshow.com/wp-content/uploads/2007/11/curse.JPG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H