"Kamu barisnya sebelah sana, kakak sebelah sana, bapak sebelah sini, ya."
Setelah mengamati posisi di mana aku harus berdiri, aku mengangguk mantap. Sambil menyeka keringatnya, ibu tersenyum tenang, dan segera melangkah maju, kembali ke tempatnya berdiri. Agak depan, dekat di pintu masuk.
Entah sampai kapan antrean ini berakhir, namun aku merasa senang.
Bukankah katanya, kita harus kreatif di tengah paceklik minyak goreng ini? Aku merasa cukup bangga dengan ide ibuku yang ternyata sangat kreatif. Dengan begini, kami masing-masing bisa mendapat dua liter minyak yang nanti bisa dipakai menggoreng kerupuk.
Harapanku, aku bisa kembali berjalan-jalan membawa kerupuk ibu ke warung bu Sumi, Warung Mantul, pak Sukijah, pak Bolang dan siapa lagi aku lupa. Pokoknya banyak.
Masih kuingat betul betapa ayah geram mendengar ibu-ibu berkacamata itu bicara di televisi-soal paceklik minyak goreng-. Katanya ibu itu tidak perhatian, ibu itu melantur, sok tahu, dan lain-lain.
Ibu yang mendengar dari dapur langsung melangkah ke luar, menyempatkan diri mencuri dengar kata televisi, meski di tangannya masih ada sudip panas dan jampel lusuh favoritnya.
Ayah, Ibu, bu Yatun, dan semua pelanggan warung itu (yang juga mendengarkan televisi berbicara) seketika berubah geram. Ada yang membanting sandal, bidak catur, bungkus kopi, sampai dompetnya.
Aku hanya mengamati dari kejauhan. Mengapa mereka begitu geram?
Meski tidak tahu, apalagi kenal dengan sosok yang tengah berbicara di televisi (setahuku beliau adalah pejabat dan tokoh penting negara ini). Aku setidaknya bisa memaklumi perkataannya yang dinilai melantur, tidak memahami rakyat.