Istilah Intergenerational Trauma mungkin masih terdengar asing bagi beberapa orang. Di Indonesia sendiri topik ini jarang dibahas dibandingkan dengan di luar negeri. Intergenerational Trauma adalah trauma yang berasal dari orang tua dan diwariskan kepada anak-anaknya yang akan terus berlanjut ke generasi berikutnya jika tidak ada upaya untuk memutusnya. Trauma orang tua pastinya datang dari pengalaman buruk yang ia dapatkan semasa kanak-kanak. Hidup yang dihantui dengan rasa trauma tidaklah mudah karena mempengaruhi kesehatan mental, fisik, dan emosional mereka. Jika orang tua tersebut tidak diberikan kesempatan untuk memulihkan dirinya dari trauma, mereka akan secara tidak sadar mentransmisikan trauma yang ia alami kepada anaknya. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa? Orangtua yang memiliki pengalaman buruk semasa kecil dan hingga saat ia memiliki anak masih tidak dapat berdamai dengan traumanya akan mempengaruhi parenting terhadap anak. Oleh karena itu, ada kemungkinan anaknya memiliki trauma yang sama.
Berdasarkan penelitian yang juga dilakukan oleh Iyengar U., dkk (2014) bahwa trauma masa lalu orang tua khususnya ibu yang belum terselesaikan akan mengganggu hubungan atau keterikatan dengan anaknya mengakibatkan minimnya hubungan kasih sayang orang tua dengan anak. Tidak jarang juga orang tua yang pernah mengalami trauma dapat salah menempatkan emosi pada anak yang tidak bersalah. Hal tersebutlah yang mempengaruhi parenting orang tua karena kedekatan mereka dengan anaknya terhalang oleh trauma. Masa depan anak akan berdampak karena parenting yang salah, anak akan cenderung menjadi takut untuk mengeksplorasi dunia karena ia merasakan tidak ada tempat aman untuk ia kembali pulang saat merasa gagal dengan apa yang ia lakukan.Â
Ada contoh kasus yang sering kali terjadi saat ini, yaitu ketika masa kecil orang tua yang diabaikan oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya karena kurang dalam hal akademik. Secara tidak sadar mereka akan mendidik anak-anaknya dengan kriteria yang dianggap selalu bisa diterima oleh masyarakat, misal harus pintar dan menjadi juara 1 berturut-turut padahal anak tersebut pandai melukis. Tuntutan orang tua terhadap anak itulah yang secara tidak langsung membentuk perilaku dan pola pikir yang berdampak buruk bagi kesehatan mental anaknya. Dalam diri anak akan muncul pikiran yang selalu mengkritik dirinya sendiri, selalu menganggap dirinya tidak layak, anak juga akan cenderung menjadi people pleaser (sikap seseorang yang selalu menuruti dan mengutamakan orang lain sekalipun merugikan dirinya sendiri agar ia tetap disenangi oleh orang lain), dan ia akan menjadi orang yang terus mencari pengakuan dari orang lain. Dari kejadian itulah trauma akan terus berlanjut.
Siklus tersebut akan terus berulang sampai ke generasi berikutnya ibarat rantai yang tidak pernah putus. Apakah ada cara untuk memutus trauma tersebut? Menurut Isobel (2019) untuk memutusnya dapat dilakukan dengan bantuan dukungan orang sekitar. Orang disekitar memberikan dukungan berupa tempat bercerita yang aman agar trauma anak dapat terobati secara perlahan. Kemudian dengan memberikan pengetahuan tentang trauma, respons trauma, dan trauma antargenerasi kepada anak agar mereka menjadi tau dan memiliki kesadaran untuk memutus trauma tersebut. Dengan begitu anak akan menciptakan suasana positif dalam keluarga dan dapat mengganti ajaran yang tidak sesuai dengan cara pandang baru. Maka, saat ia menjadi dewasa dan berkeluarga trauma antargenerasi dapat terputus serta trauma tambahan generasi selanjutnya tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H