Mohon tunggu...
Clarissa Elvaretta
Clarissa Elvaretta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Isu Peristiwa Aksi Demokrasi Buruh terhadap Omnibus Law

12 Juni 2022   21:58 Diperbarui: 13 Juni 2022   00:28 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika terjadi aksi mogok kerja oleh para buruh di Indonesia pasca reformasi, sumber masalah yang selalu menempel pada aksi ini adalah upah yang terus naik. Permasalahan upah ini seakan-akan menunjukkan bahwa kaum buruh melakukan blockade jalan, aksi demonstrasi, atau aksi mogok hanya untuk mendapatkan keadilan mengenai masalah ini. 

Kata "buruh" dan "upah" seolah selalu berkaitan dan memiliki arti yang sama. Membahas mengenai buruh maka sama dengan membahas mengenai upah yang membuat pemerintah dan masyarakat umum terasa seperti terjebak di dalam kesempitan.

Para buruh memang memperjuangkan masalah kenaikan upah, namun perjuangan gerakan buruh tidak hanya untuk membahas masalah upah. Para buruh harus melawan pasar dan negara dan hal ini tentu saja membuat masalah ini semakin panas. Persoalan Marsinah yaitu ketika para buruh harus menjadi korban secara sembunyi-sembunyi antara pasar dan negara.

Pada penataan Omnibus Law, pemerintah tampaknya telah menentukan kebijakan reformasi regulasi. Omnibus Law seperti dijadikan cara cepat untuk menyusun karena masih adanya penitikberatan kebijakan dari pemerintah pusat. Penitikberatan ini dibutuhkan untuk mencapai penyederhanaan peraturan dan perizinan dengan produk hukum.

UU ini dikenalkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada 15 April 2020 sebagai RUU. Pada rapat paripurna 5 Oktober 2020, RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang. Perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat aturan-aturan yang mengikat secara hukum dan umum dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. 

Masyarakat membutuhkan gambaran dan objektivitas pejabat legislatif yang ideal untuk mewujudkan kepastian hukum. Apabila peraturan tidak tumpang tindih dan ditata menurut ukuran dan prioritas yang tepat, legalitas pemerintah dalam menyusun dan mengesahkan suatu produk hukum konstitusional dalam tercapai.

Sebelum adanya Omnibus Law, jangka waktu maksimal adalah 5 tahun. Berdasarkan pasal-pasal Omnibus Law, lamanya kerja tergantung dengan yang ditemui pekerja kontrak. Kesepakatan antara karyawan dan perusahaan diperlukan untuk menetapkan durasi kontrak kerja. 

Kesepakatan ini dapat membuat perusahaan mempekerjakan karyawannya melebihi waktu yang sudah disepakati. Perusahaan dapat dengan mudah melakukan pengakhiran hubungan kerja dan tidak mendapatkan pesangon PHK. Itu semua tergantung pada kebijakan perusahaan untuk mempekerjakan atau memecat pekerja kontrak. 

Berdasarkan Menteri Ketanagerjaan Ida Fauziyah, walaupun UU Cipta Kerja sudah disahkan, namun tetap tidak bisa dilaksanakan karena harus menunggu PP sebagai turunannya, terutama terkait UU pasal 59 Nomor 13 tahun 2003 yang dicabut dalam Omnibus Law yang mengatur PKWT. Sesuai dengan pasal 59 ayat (1) dalam UU Nomor 13 tahun 2003, sebagai berikut:

"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun