Mohon tunggu...
Wiendy Clarisa Aulia Tsani
Wiendy Clarisa Aulia Tsani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Saya memiliki minat dalma bidang Public Relations.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memberantas Fatphobia dengan Menormalisasi Penggunaan Kata 'Gendut'

8 Juni 2022   23:45 Diperbarui: 9 Juni 2022   15:39 1811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih banyak orang di luar sana memiliki pandangan buruk terhadap orang yang memiliki tubuh gemuk. Fenomena tersebut juga menyebabkan tumbuhnya stigma-stigma yang sama negatifnya. Seperti anggapan bahwa kata ‘gendut’ merupakan olokan. Pada kenyataannya, kata ‘gendut’ bukanlah sebuah bentuk ejekan, namun hanyalah kata sifat atau adjektiva yang digunakan untuk mendeskripsikan seseorang. Sama seperti ‘kurus’, ‘tinggi’, ‘pendek’, dan masih banyak lagi. Saat kita mengatakan “Orang itu gemuk,” bukan berarti kita sedang mengolok orang yang bersangkutan, tetapi kita hanya sedang mendeskripsikan penampilan fisiknya. 

Beberapa kata sifat terdengar memiliki konotasi negatif karena standar kecantikan yang tumbuh di masyarakat. Memang, standar kecantikan merupakan konsep yang abstrak serta berbeda bagi setiap orang. Definisi cantik bagi saya dan bagi anda mungkin berbeda, namun pasti ada mayoritas kelompok yang memiliki pemikiran dan sudut pandang yang sama. Standar kecantikan bisa juga dikategorikan secara geografis. Contoh, standar kecantikan bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah seseorang dapat dikatakan cantik dan tampan jika mereka berkulit putih dan bersih, badan kurus, serta rambut lurus. Otomatis membuat antonim dari kata-kata tersebut dipandang buruk oleh banyak orang.

Orang yang tidak memiliki penampilan fisik sesuai dengan kriteria standar kecantikan yang sudah ditetapkan mayoritas masyarakat pastinya akan dipandang sebelah mata dan mengalami sebuah fenomena yang disebut dengan double standard. Karena kita tidak ‘cantik’, orang-orang akan merendahkan kita. Sedangkan, orang yang ‘cantik’ akan diagung-agungkan dan lebih diberi pengakuan. Ini juga bisa disebut beauty privilege atau hak istimewa yang diberikan atas dasar kecantikan.

Fenomena tersebut tidak hanya terjadi antara satu individu kepada individu lainnya, atau suatu kelompok pada kelompok lainnya. Pihak lain seperti brand atau merek sebuah produk juga bisa melakukan double standard dan menunjukkan karakteristik fatphobic. Seperti banyaknya brand fast fashion yang menyediakan pakaian dengan ukuran ‘allsize’ namun ternyata tidak benar-benar all size dan hanya dapat dipakai orang dengan ukuran Small dan Medium saja. Hal tersebut juga ditekankan lagi dengan kurangnya perbedaan yang ada pada representasi media. Artis yang muncul di televisi, model yang berpose di panggung, idol yang bernyanyi, semuanya memiliki penampilan yang sesuai dengan standar kecantikan. Jarang sekali atau hampir tidak ada representasi di media yang memiliki penampilan gemuk. 

Diskriminasi juga sering ditemukan pada orang yang memiliki penampilan dan ukuran yang besar. Sebuah survei yang diadakan oleh Pacific Place  menyatakan bahwa 93% perekrut memilih pelamar kerja yang berbadan kurus daripada pelamar yang berbadan gemuk walaupun keduanya sama-sama memenuhi kualifikasi yang ada. 

Ternyata, perlakuan fatphobia dapat juga datang dalam bentuk lain yang mungkin kita sering temui dan tidak sadar bahwa hal tersebut merupakan fatphobia karena seringnya terjadi dan masih banyak orang yang menganggap remeh fenomena tersebut. Seperti saat di sebuah acara reuni dengan teman atau di gathering keluarga besar, saat seseorang mengomentari badan kita yang terlalu gemuk, bagaimana berat badan kita terlihat tidak turun-turun walau waktu sudah terlewat lama, dan ujaran-ujaran lain yang dilontarkan untuk ‘break the ice’ atau mencairkan suasana padahal di dalam hati kita merasa direndahkan. 

Fatphobia merupakan sebuah problematika yang nyata dan harus dihilangkan. Stigma mengenai berat badan, diskriminasi, perundungan berdasarkan berat badan, semua hal itu dapat memberikan efek jangka panjang kepada korban. Korban dapat mengalami ketidakpercayaan pada sekitar, melakukan sensor diri, dan mengalami trauma. Hal terburuk yang akan terjadi adalah korban dapat memiliki kesehatan mental yang tidak baik dan akhirnya merasa depresi.

Sebenarnya, menganggap kata ‘gendut’ sebagai ejekan merupakan salah satu contoh karakteristik fatphobic yang paling umum. Maka dari itu, cara termudah dan langkah awal yang dapat kita ambil untuk pelan-pelan memberantas fenomena fatphobia adalah dengan menormalisasikan penggunaan kata tersebut. Namun sebelum itu, mari kita perbaiki pemikiran dan sudut pandang yang kita miliki mengenai fenomena fatphobia itu sendiri.

Penting sekali bagi kita untuk memahami bahwa dari awal, penampilan fisik bukanlah segalanya. Terlebih pada lingkungan profesional seperti lingkungan kerja, penampilan fisik sama sekali tidak memiliki korelasi dengan bagaimana baik dan buruknya kinerja seorang karyawan. Tidak merekrut karyawan hanya karena mereka memiliki penampilan fisik yang gemuk merupakan sebuah tindakan yang tidak beralasan atau unreasonable dan terlebih sangatlah tidak profesional. Dalam lingkungan sekitar pun, terhadap teman atau anggota keluarga, sangatlah tidak perlu bagi kita untuk mengomentari penampilan fisik mereka apalagi menghakimi mereka. Kita tidak pernah tahu bahwa dibalik penampilan fisik mereka, mereka sudah melewati banyak hal bahagia dan menyedihkan, kesengsaraan dan kehebatan. Sangatlah tidak valid untuk mengkotak-kotakkan seseorang hanyalah dari penampilan fisik yang mereka punya. 

Sebaik-baiknya manusia adalah seseorang yang tidak mempertanyakan dan memandang buruk ciptaan Tuhan. Setiap orang diciptakan olehNya dengan kelebihan juga potensial masing-masing. Penampilan fisik jelas tidak bisa dijadikan permasalahan karena di mataNya, gendut atau kurusnya seseorang bukanlah hal yang penting, yang penting adalah amal baik yang telah dilakukan. Mengingat kata mutiara yang dikatakan oleh Joseph Pilates, “It is the mind that shapes the body,” yang memiliki arti, pemikiran lah yang sebenarnya membentuk seseorang. Maka dari itu, janganlah memandang seseorang dari penampilan fisik yang mereka miliki, janganlah mendiskriminasi dan merendahkan orang lain karenanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun