Pernah nggak, ketika kalian membaca sebuah artikel mengenai suatu penyakit, kalian merasa ciri-ciri yang disebutkan sesuai dengan apa yang kalian alami?
Atau ketika kalian mengalami sesuatu pada tubuh atau perasaan kalian, kalian segera mencari tahu di internet apa yang terjadi pada kalian?
Dua hal tersebut bisa dikategorikan sebagai self-diagnose, yaitu upaya seseorang mendiagnosis atau mengkategorikan kondisi dirinya tanpa menemui pihak ahli.
Apalagi di era revolusi industri 4.0 dengan kemudahan akses internetnya ini. Orang jadi mudah mencari informasi dimanapun dan kapanpun. Namun sayang, penerapan self-diagnose dinilai kurang tepat karena hanya berdasarkan feeling orang tersebut, tanpa tanggapan dari diagnosis tenaga medis.
Kasus yang paling sering terjadi, ialah seseorang merasa dirinya sedang mengalami depresi setelah membaca artikel atau bacaan yang menyebutkan gejala depresi dan merasa gejala tersebut sedang ia alami. Padahal belum tentu orang tersebut mengalami depresi. Bisa saja ia hanya mengalami stress, sedih, atau bahkan bisa jadi ia sedang mengalami gangguan kesehatan yang lain.
Lalu kenapa sih self-diagnose tidak dianjurkan?
Mencari tahu kondisi tubuh, ketika ada yang salah, melalui internet wajar-wajar saja, karena bisa membuat kita lebih waspada mengenai kemungkinan penyakit yang dimiliki. Tetapi diusahakan jangan sampai menyentuh tahap self-diagnose. Karena, self-diagnose tanpa diagnosa resmi tenaga ahli bersifat belum pasti.
Seorang dokter yang sudah berpengalaman bahkan masih bisa melakukan kesalahan pada diagnosisnya, apalagi seseorang yang hanya menyimpulkan sebuah diagnosa dari informasi sekilas yang dia dapat?
Dokter atau tenaga ahli menyimpulkan sebuah diagnosa berdasarkan keluhan pasien, gejala pasien dan tes-tes lanjutan jika diperlukan. Sedangkan seseorang yang melakukan self-diagnose tidak memiliki data yang akurat untuk mengeluarkan diagnosa.
self-diagnose dapat menimbulkan kecemasan berlebih, karena mengkhawatirkan penyakit yang belum tentu diderita. Parahnya, hal tersebut dapat berlanjut dengan timbulnya penyakit-penyakit lain yang tidak diinginkan.Â
Misal, kita mendiagnosa diri mengidap bipolar karena sering mengalami perubahan mood yang ekstrim, padahal kita hanya mengalami stres yang cukup mengganggu dikarenakan padatnya kegiatan. Kita yang sudah berasumsi mengidap penyakit bipolar dapat mengalami cemas dan panik yang bisa memicu stres berkepanjangan, overthinking, putus asa, atau hal-hal yang lain.