Kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang dikenal sebagai Kabinet Merah Putih, adalah kabinet dengan struktur yang sangat besar. Jumlah kementerian yang mencapai 53 termasuk beberapa kementerian yang sebelumnya belum ada, seperti Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran membuat kabinet ini terlihat ambisius dalam mencakup berbagai sektor. Namun, besarnya jumlah kementerian juga menimbulkan pertanyaan kritis: apakah kabinet ini akan efektif dalam memperkuat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, atau malah menambah kerumitan birokrasi?
Desentralisasi seharusnya menjadi landasan bagi peningkatan partisipasi daerah dalam pembangunan. Namun, dengan kabinet yang "gemuk" ini, koordinasi antara kementerian di pusat saja sudah menjadi tantangan besar. Tumpang tindih kewenangan, terutama di sektor-sektor seperti investasi, koperasi, dan UMKM, dapat memperlambat pengambilan keputusan dan memperumit hubungan dengan pemerintah daerah. Ketika pusat sibuk mengoordinasikan kementerian yang tugasnya saling bersinggungan, daerah bisa terjebak dalam ketidakpastian dalam mengeksekusi kebijakan, yang pada akhirnya memperlambat pembangunan di tingkat lokal.
Gibran, sebagai Wakil Presiden dan Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), diharapkan bisa menjadi jembatan antara pusat dan daerah. Namun, mengingat kabinet yang besar dan cenderung berlapis-lapis ini, apakah Gibran memiliki cukup ruang untuk mengatasi birokrasi yang rumit dan memastikan bahwa kebijakan pusat dapat diimplementasikan tanpa hambatan di daerah? Sebagai mantan Wali Kota Solo, Gibran tentu paham dengan dinamika lokal, namun jabatan Wakil Presiden dalam praktik seringkali lebih bersifat simbolis daripada eksekutif. Tanggung jawabnya dalam menjaga sinkronisasi kebijakan pusat-daerah bisa menjadi tugas yang berat jika ia tidak memiliki wewenang yang cukup untuk memimpin atau mengatasi konflik antar kementerian.
Selain itu, dengan adanya banyak kementerian baru, muncul pertanyaan tentang efektivitasnya dalam mendorong desentralisasi. Misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Kementerian Koordinator Bidang Pangan adalah dua contoh kementerian yang dapat mendukung daerah dalam meningkatkan kapasitas lokal. Namun, keberhasilan kementerian ini sangat bergantung pada bagaimana mereka berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Tanpa koordinasi yang kuat, kebijakan pemberdayaan masyarakat atau pangan hanya akan menjadi jargon di pusat yang tidak berdampak nyata di daerah.
Dengan struktur kabinet yang besar, tantangan utama lainnya adalah menghindari birokrasi yang berlebihan. Keberadaan banyak kementerian berarti banyak pejabat dengan kepentingan dan visi masing-masing, yang bisa menciptakan dinamika politik di internal pemerintahan pusat itu sendiri. Ketika pusat terlalu sibuk dengan politik internal dan penyesuaian antar kementerian, hubungan dengan daerah menjadi kurang prioritas, dan ini dapat memunculkan ketidakpuasan di tingkat lokal.
Singkatnya, kabinet Prabowo-Gibran memiliki potensi besar untuk memperkuat hubungan pusat-daerah jika mereka mampu mengatasi kompleksitas birokrasi di dalamnya. Namun, tanpa koordinasi dan kepemimpinan yang kuat dalam menjalankan setiap kebijakan, kabinet ini justru bisa menjadi beban bagi otonomi daerah. Komitmen Prabowo-Gibran dalam mewujudkan desentralisasi yang efektif akan diuji, dan kegagalan untuk membuktikan komitmen ini akan memperlebar jurang antara pusat dan daerah. Bukan tidak mungkin, jika tidak ada upaya perbaikan, kabinet yang "gemuk" ini akan membawa kita kembali ke era sentralistik, yang bertentangan dengan semangat reformasi dan otonomi daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H