Birokrasi seharusnya menjadi tulang punggung yang mendukung kelancaran pemerintahan dan pelayanan publik. Namun, di Indonesia, patologi birokrasi telah menjadi salah satu penghalang utama dalam mencapai pemerintahan yang efektif. Patologi birokrasi, yang sebagaimana didefinisikan oleh Sondang P. Siagian, adalah penyimpanan yang terjadi dalam birokrasi, yang dapat memengaruhi efektivitas, efisiensi, dan integritas layanan publik. Penyimpangan ini dapat berbentuk korupsi, prosedur administrasi yang berbelit-belit, ketidakmampuan, serta adanya senioritas yang merusak dinamika internal birokrasi. Fenomena ini telah lama menjadi momok yang sulit di atasi, meskipun berbagai upaya reformasi telah dilakukan.
Salah satu contoh nyata dari patologi birokrasi yang berbahaya adalah ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi data sensitif negara. Kasus yang gagal melawan peretas PDN, yang mengakibatkan hilangnya data penting, merupakan bukti konkret dari birokrat yang tidak kompeten. Meski anggaran untuk pengelolaan teknologi informasi mencapai triliunan rupiah, kinerja yang dihasilkan jauh dari memadai. Ketidakmampuan ini menunjukkan bahwa bukan hanya korupsi yang merusak birokrasi, tetapi juga kurangnya kompetensi para birokrat dalam menjalankan tanggung jawab penting. Kegagalan semacam ini bukan hanya merugikan secara finansial, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Selain itu, birokrasi Indonesia juga dirundung oleh budaya senioritas yang toxic. Kisah pegawai negeri yang mengalami stress karena senioritas yang berlebihan menyoroti sisi gelap birokrasi kita. Di banyak instansi, pegawai senior kerap memegang otoritas mutlak, yang sering kali digunakan untuk menekan atau mempersulit pegawai yang lebih muda. Budaya senioritas ini tidak hanya memicu ketidaknyamanan di lingkungan kerja, tetapi juga menghambat inovasi dan regenerasi kepemimpinan. Para birokrat yang sudah lama menjabat sering kali menolak perubahan, bahkan cenderung mempertahankan status quo untuk melindungi posisi mereka. Hal ini memperburuk patologi birokrasi yang sudah mengakar.
Viktor A. Thompson dalam teorinya menyebut salah satu ciri dari patologi birokrasi adalah overconformity atau kepatuhan berlebihan terhadap aturan dan prosedur. Kepatuhan yang berlebihan ini menjadikan birokrasi kaku dan sulit beradaptasi dengan perubahan zaman. Prosedur yang rumit dan bertele-tele bukan hanya memperlambat kinerja birokrasi, tetapi juga mengesankan bahwa birokasi lebih berorientasi pada kekuasaan dan status daripada pelayanan publik yang efisien. Situasi ini semakin menegaskan bahwa sistem birokrasi Weberian yang awalnya dirancang untuk efisiensi dan rasionalitas justru menjadi penghambat reformasi.
Budaya senioritas yang menghambat ini juga berkaitan dengan prinsip yang di ungkapkan oleh Lord Acton: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Ketika pejabat birokrasi memiliki kekuasaan terlalu lama, mereka cenderung menyalahgunakan otoritasnya, baik melalui korupsi maupun dengan menolak regenerasi dan inovasi. Akibatnya, tidak hanya terjadi penurunan kualitas layanan, tetapi juga terbentuk sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan publik.
Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi ini harus dimulai dengan reformasi mendalam pada sistem pengelolaan sumber daya manusia. Penekanan pada meritokrasi, transparansi, dan akuntabilitas harus menjadi dasar perekrutan dan promosi pegawai. Selain itu, pengembangan keterampilan dan peningkatan kapasitas birokrat harus menjadi prioritas untuk memastikan bahwa mereka mampu menjalankan tugas dengan kompeten. Di era digital ini, teknologi juga harus dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat proses administrasi dan mengurangi birokrasi yang kaku.
Secara keseluruhan patologi birokrasi adalah ancaman serius bagi efektivitas pemerintahan. Jika tidak segera diatasi, penyakit ini akan terus menghambat reformasi yang sudah lama didambakan. Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi untuk mendorong birokrasi yang lebih sehat, profesional, dan berorientasi pada pelayanan publik. Tanpa reformasi yang serius, patologi birokrasi hanya akan semakin menggerogoti tubuh pemerintahan dan memundurkan kemajuan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H