Toleransi sering dipahami secara dangkal sebagai "hidup berdampingan tanpa konflik." Namun, pengalaman di Darul Falah mengajarkan bahwa toleransi sejati melibatkan lebih dari itu. Toleransi adalah tentang memahami, menghormati, dan bahkan merayakan perbedaan.
Ketika para santri mengundang kami untuk berbicara di kelas, percakapan yang terjadi terasa seperti dialog antara dua dunia yang berbeda tetapi saling melengkapi. Mereka bertanya tentang kehidupan kami, dan kami bertanya tentang keyakinan mereka.Â
Tidak ada rasa takut untuk bertanya, tidak ada prasangka. Bagaimana jika nilai-nilai ini diterapkan di masyarakat yang lebih luas? Mungkin, banyak konflik yang bisa diredakan jika setiap pihak berusaha memahami, bukan hanya menuntut dimengerti.
Sebagai contoh, dalam diskusi dan berdinamika di dalam kelas, kami berbagi cerita mengenai bagaimana kondisi Jakarta dan dunia luar dari pesantren. Selain itu saya dan kelompok juga belajar bahasa Arab, salah satu pengalaman yang tidak akan terlupakan, Â kami belajar cara mengucapkan bahasa Arab dan belajar bagaimana cara penulisan nama kami semua dan tentunya nama Kolese kami tercinta yakni Kolese Kanisius.
Inspirasi dari Kyai
Dalam sebuah wawancara, kyai dari Darul Falah menyampaikan, "Toleransi adalah kesadaran bahwa setiap orang diciptakan berbeda untuk saling melengkapi. Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk disyukuri."Â
Pernyataan ini mengingatkan saya pada pemikiran Mahatma Gandhi, yang mengatakan, "You may never know what results come of your actions, but if you do nothing, there will be no result." Artinya, membangun toleransi membutuhkan aksi nyata, bukan hanya niat atau wacana. Meski hasilnya tidak selalu terlihat langsung, setiap langkah kecil menuju saling pengertian akan membawa dampak positif dalam jangka panjang. Di Darul Falah, saya belajar bahwa:
- Iman adalah kehidupan, bukan sekadar ritual.
- Perbedaan adalah warna, bukan dinding pemisah.
- Bahasa kasih dan penghormatan mampu menyatukan hati, melampaui prasangka.
Sebuah puisi singkat untuk menutup kolom ini
Di Darul Falah, kami temukan,
Bahwa iman tak hanya ritual,
Tetapi nafas kehidupan yang menyatukan,
Perbedaan adalah warna, bukan dinding pemisah.
Di aula doa, di lingkaran belajar,
Kami belajar bahasa universal;
Bahasa kasih, penghormatan, dan kebersamaan,
Di mana hati bertemu, tanpa prasangka.
Melalui pengalaman ini, saya percaya bahwa dunia dapat menjadi tempat yang lebih baik jika kita semua mempraktikkan toleransi sejati. Seperti pohon yang tumbuh dengan akar pemahaman, batang penghormatan, dan daun kasih sayang, toleransi adalah kunci untuk membangun masyarakat yang harmonis.Â