Mohon tunggu...
Clara Simanjuntak
Clara Simanjuntak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki ketertarikan dibidang pengembangan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ekonomi vs Adat: Pergulatan Identitas di Pulau Rempang, Kepulauan Riau

14 Juni 2024   08:00 Diperbarui: 14 Juni 2024   08:08 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak dekade 1990-an Pulau Batam dan beberapa pulau di sekitarnya salah satunya Pulau Rempang telah menjadi fokus pengembangan oleh Badan Pengusahaan Batam (BP Batam). Jembatan Barelang menjadi saksi bisu pembangunan tersebut karena tidak hanya menjadi penghubung antar Pulau Batam, Rempang, dan Galang melainkan sebagai penggerak roda ekonomi serta pemerataan pembangunan.

Perlu diketahui perencanaan pengembangan Pulau Rempang ini telah dimulai sejak pertengahan 2004, yang diawali dengan Surat Rekomendasi DPRD Kota Batam pada tanggal 17 Mei 2004 ini membuka jalan awal masuknya investasi ke kawasan Pulau Rempang. Pulau ini kemudian disetujui untuk dikembangkan menjadi Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) yang didalamnya mencakup pembangunan saran perdagangan, jasa, hotel, perkantoran, hingga permukiman. Pengembangan mencakup 7 zona yaitu Integrated Industrial Zone, Rempang Integrated Agro-Tourism Zone, Rempang Integrated Commercial and Residential, Rempang Integrated Tourism Zone, Rempang Forest and Solar Farm Zone, Wildlife and Nature Zone, dan Galang Heritage Zone.

Setelah dua dekade berjalan pengembangan yang tampak menjanjikan ini, akhirnya mampu membuat investor dari Negeri Tirai Bambu seolah melirik dan menyalakan harap. Melalui investasi yang ditaksir sebesar Rp381triliun dan perkiraan penyerapan tenaga kerja langsung sebanyak 306 ribu tenaga kerja. Dalam rangka menjamin investasi besar ini, Kepala BP BATAM, Muhammad Rudi menegaskan dan berkomitmen untuk menjaga hak rakyat, kultural, hingga hak seluruh warga yang telah bermukim turun menurun di Pulau Rempang (Humas 2023).

Sayangnya janji dan komitmen ini hanya seperti angin lalu, program pembangunan yang awalnya bertujuan untuk berdaya saing terhadap Singapura justru melahirkan konflik akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Dari sudut pandang masyarakat adat seperti Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya tanah yang mereka tempati dianggap sebagai warisan leluhur bahkan sebelum kemerdekaan. Sayangnya pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan kewenangannya berupa Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahaan seperti PT. Makmur Elok Graha permasalahannya tidak hanya terletak pada HGU yang diberikan, juga pengelolaan lahan di Batam diatur oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Sayangnya batas pengelolaan tanah oleh BP Batam dan tanah adat milik masyarakat tidak dijabarkan secara jelas, akibatnya terjadi tumpang tindih dalam penguasaanya (satria 2023). Adapun masyarakat adat yang terdampak diperkirakan antara 7.000 -- 10.000 jiwa . Melalui ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang Gerishman Ahmad menegaskan bahwa warga kampung tidak menolak pembangunan tetapi justru menolak akan adanya relokasi. Bagaimana tidak proyek milik perusahaan China Xinyi Group ini diperkirakan akan memakan 7.572 ha lahan Pulau Rempang atau setara dengan 45,89% dari keseluruhan. Dalam merespon hal tersebut Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menegaskan bahwa pemerintah akan menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp120juta dengan luas tanah 500 meter persegi.

Sayangnya tidak semua masyakarat dapat dibutakan dengan materi tersebut, pada akhirnya menimpulkan respon yang negatif oleh masyarakat melalui demonstrasi tepatnya pada tanggal 7 september 2023 yaitu adanya penolakan oleh warga atas pengembangan kawasan Rempang Eco City dan menolak pengukuran lahan oleh BP Batam, bentrokan pecah lantaran situasi yang tidak kondusif dikarenakan sejumlah kelompok melakukan blockade di Jembatan Trans Barelang menindak hal tersebut polisi setempat akhirnya menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa tersebut serta menangkap beberapa oknum. Massa kembali menggelar aksi demonstrasi di depan kantor BP Batam tepatnya pada tanggal 11 september 2023. Sejumlah warga menuntut untuk membebaskan tujuh warga yang sebelumnya ditangkap, polisi pun menangguhkan penahanan tersebut (CNN Indonesia 2023).

Lantas apa yang menjadi solusi terbaik atas permasalahan diatas? Bila dikaji dari sudut pandang masing-masing actor yang terlibat tampaknya seluruhnya merasa benar dan memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan kepentingannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa langkah setidaknya dalam meredam konflik tersebut. Adapun langkah yang dapat dilakukan diantaranya

  • Pemerintah wajib menjabarkan dengan rinci batas-batas wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai Hak Guna Usaha secara jelas dan transparan kepada masyarakat;
  • Melalui pedekatan yang humanis BP Batam harus mampu menyelesaikan pendataan warga yang terdampak serta menyerap segala aspirasi masyarakat dengan maksimal;
  • Bagi masyarakat yang enggan direlokasi, pemerintah hendaknya memberikan perhatian lebih atas keinginan mereka dalam memperjuangkan tanah leluhur mereka dan menegaskan bahwa relokasi tersebut hanya sementara dengan bertanggung jawab penuh bahwa tanah yang mereka tempati tidak akan diambil alih.

Konflik yang kompleks seperti  Pulau Rempang memerlukan solusi terpadu dimana semua suara didengarkan dan semua kepentingan dipertimbangkan. Partisipasi masyarakat lokal, pemerintah dan perusahaan dalam menyelesaikan konflik Rempang sangat penting untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan akan memastikan bahwa hak-hak mereka diakui dan dihormati. Hal ini penting untuk menghindari keterasingan dan pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat yang merasa dilibatkan dan dihargai kemungkinan besar akan  mendukung dan mempertahankan proyek  dalam jangka panjang. Keterlibatan pemerintah juga memastikan bahwa kebijakan yang dikembangkan mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya  investor atau kelompok tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun