Banyak orang memiliki cara berbeda untuk mendapatkan gelar sarjana. Ada yang bekerja paruh waktu untuk membiayai uang kuliah sendiri. Ada juga yang mencari beasiswa, baik di dalam maupun di luar negeri, meskipun mencari beasiswa S1 jauh lebih susah dari pada jenjang lainnya yang lebih tinggi. Dan tak sedikit pula yang menggunakan keberuntungan lahir dalam keluarga berada sehingga biaya kuliah ditanggung oleh orang tua. Beragam. Selain cara dalam mendapatkan gelar sarjana, banyak orang juga memiliki cara berbeda untuk menemukan panggilan hidupnya. Ada yang sejak kecil sudah tahu bahwa dia akan menjadi dokter. Ada yang di SMA menemukan sosok yang menginspirasi untuk diikuti profesi panggilannya. Ada pula yang panggilan hidupnya adalah menjalani profesi yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya. Beragam pula. Berkaitan dengan dua hal di atas, saya mendapatkan gelar sarjana dan mengerti panggilan hidup saya melalui satu hal, yaitu beasiswa S1 di jurusan pendidikan. Bagaimana bisa? Sejak kecil cita-cita saya sudah terlihat, yaitu menjadi seorang dramawan. Saya mencintai dunia seni peran. Berbagai pertunjukan sudah saya ikuti sejak masih sangat kecil. Beberapa kali juga mendapat kesempatan untuk terlibat dalam pentas yang berkelas profesional. Klub humaniora teater saya saat SMA menjadikan saya begitu militan terhadap dunia akting ini. Sampai saya sadar bahwa untuk belajar di sebuah institut kesenian di Jakarta dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Melihat kondisi ibu saya yang hanya seorang single parent rasa-rasanya tidak mungkin. Kemudian saya banting setir. Selain berakting, saya juga memiliki hobi lain yang baru saya temukan saat SMA. Keisengan saya bergabung dengan klub jurnalistik membuat saya cukup serius menekuni dunia tulis-menulis, terutama sastra. Saya mencintainya dan memutuskan untuk benar-benar mendedikasikan hidup saya untuk hal tersebut. Mulai saat itu saya bertekad ingin sukses belajar di perguruan tinggi terkenal yang menyediakan jurusan komunikasi karena saya ingin konsentrasi pada jurnalistik. Hingga masalah utama muncul. Ibu saya yang bekerja sendiri tiba-tiba sakit keras. Sakitnya sangat serius sehingga butuh dioperasi secepatnya. Karena tidak mau membebani pikiran saya, dia menyembunyikan perihal sakitnya dari saya. Memang saat SMA, saya bersekolah di sebuah sekolah berasrama. Maka wajar kalau ibu saya berhasil menyembunyikannya dari saya. Akhirnya saya tahu dari orang lain. Pupus sudah harapan saya karena tidak ada biaya sama sekali untuk meneruskan pendidikan di bangku kuliah. Setelah melalui masa depresi karena hal tersebut, saya memutuskan untuk tetap berusaha. Saya tetap mendaftar di sejumlah universitas yang ada di sekitar Yogyakarta. Tidak disangka, saya berhasil lolos masuk ke sebuah universitas swasta yang terkenal karena jurusan komunikasinya. Saya dikenai biaya paling murah karena tidak melalui seleksi tes masuk, cukup dengan transkrip rapor sekolah saja, jalur prestasi. Meski demikian, saya tetap tidak bisa kuliah di universitas tersebut karena ibu sudah tidak bisa menyediakan biaya hidup saya. Maka saya nekat, meminjam uang teman untuk membeli formulir sebuah universitas negeri nomor satu di Yogyakarta. Saya tidak menyangka lolos tahap seleksi di jurusan bergengsinya pula, komunikasi. Saya lolos dengan uang masuk paling murah. Namun ini tetap menjadi masalah sebab saya tidak memiliki sepeser uang pun untuk membayar. Saya hanya bisa depresi lagi. Di lingkungan SMA saya, tidak ada yang tidak meneruskan ke perguruan tinggi. Selain karena keinginan untuk belajar, saya juga mendapatkan peer pressure saat itu. Tidak disangka, ada presentasi beasiswa S1 dan S2 untuk jurusan pendidikan. Siapa yang mau jadi guru? Saya mengikuti mainstream yang menganggap bahwa profesi guru itu sama sekali jauh dari gengsi. Tapi berhubung saya sedang oportunis, maka saya mencoba peruntungan beasiswa itu. Mumpung, beasiswa S1 dan di dalam negeri kan sedikit. Jarang sekali. Nah, untuk lolos seleksi beasiswa tersebut, saya harus mengikuti tiga tahap seleksi, yaitu tes tertulis, tes menulis esai, dan tes wawancara. Pertama, mengenai tes tertulis. Yang paling penting adalah siapkan diri sebaik mungkin. Sebelum diseleksi tes tertulis biasanya diminta rapor SMA. Maka nilai yang tertera di dalam rapor memang harus bagus (tidak perlu bagus sekali, tapi ya lumayanlah. Rata-rata 7,5 ke atas). Tesnya sendiri? Kalau memang merasa sudah mengikuti pelajaran di kelas selama SMA sebaik mungkin sih, mengapa harus takut? Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika tidak akan menyeramkan. Selama ini saya tidak pernah belajar secara khusus untuk tes universitas manapun, tapi di kelas saya belajar dengan sungguh-sungguh namun tanpa beban sehingga semua tes bisa lewat dengan baik. Yang jauh lebih penting adalah persiapkan waktu dan kondisi tubuh sebaik mungkin. Saat itu saya ikut tes langsung setelah menolong teman yang kejang-kejang di asrama. Berhubung tempat tesnya jauh, maka saya dan teman-teman lain yang ikut tes jadi terlambat 1 jam. Celakanya, saat itu hujan deras, maka saya mengerjakan soal tes dalam keadaan baju basah dan perut sangat lapar. Untung masih bisa konsentrasi. Kedua, tahap menulis esai. Jujur saya sempat berkecil hati karena saya merasa saya belum memiliki hati untuk dunia pendidikan. Masa disuruh menulis tentang pendidikan sih? Mana saya tahu?, pikir saya saat itu. Tapi saya memutuskan untuk tetap maju. Yang penting saya jujur, tidak sok tahu. Dalam membuat esai yang penting saya membuat kerangka terlebih dahulu sehingga tahu isi yang hendak disampaikan. Setelah itu, isi dalam esai saya harus menjawab pertanyaan yang diberikan dan fokus. Saya mengusahakan agar tulisan saya memiliki susunan bagus atau well organized. Yang tak kalah penting adalah bahasa yang saya gunakan harus jelas dan santun. Tanda baca harus digunakan dengan baik dan sesuai. Tulisan tangan juga harus rapi dan bersih sehingga si pembaca akan mengeri maksud kita. Sekali lagi, jujur. Dilarang sok tahu. Ketiga adalah tahap wawancara. Ini menarik. Meskipun saya belum memiliki tujuan jelas perihal pendidikan, saya hanya berusaha yang terbaik. Paling enak itu menjadi orang yang jujur, tegas, dan percaya diri. Bila perlu, tunjukkan bahwa diri sendiri adalah orang yang bisa bertanggung jawab dalam semua hal yang dilimpahkan. Saya ingat, saya bilang begini, "Saya belum yakin dengan panggilan profesi guru, tapi saya mau mencoba yang terbaik. Dan saya sangat ingin belajar." Tunjukkan bahwa kita memiliki kelebihan dan kekurangan secara jujur, namun yakinkan pewawancara kalau kita mau belajar sekeras mungkin. [caption id="" align="aligncenter" width="718" caption="Ilustrasi Beasiswa"][/caption] Sebelum saya menerima beasiswa ini saya tidak tahu mau jadi apa. Memiliki cita-cita menjadi dramawan dan jurnalis pun dalam masih tataran tidak jelas karena saya belum tahu arah kehidupan saya hendak seperti apa. Dulu saya tidak tahu tujuan saya hidup ini untuk apa. Mau jadi dramawan yang seperti apa? Atau jurnalis yang seperti apa? Yang saya tahu, saya hanya ingin sukses. Tapi bukankah kesuksesan itu tidak memiliki standar atau tidak ada batasnya? Maka saat itu saya hanya bisa bertanya-tanya. Syukurlah, ketika saya mendapatkan beasiswa ini saya jadi belajar. Melalui proses pembelajaran dalam hal akademik dan karakter, saya dibentuk. Melalui beasiswa itu saya jadi tahu kalau hidup saya itu untuk Tuhan, negara, dan sesame. Atau dalam Bahasa Latinnya disebut Deo, Patriae, Amicis. [caption id="" align="aligncenter" width="1280" caption="Ilustrasi Mengajar"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H