Sejak 20.000 tahun yang lalu, manusia telah menciptakan kemasan untuk membungkus makanan. Seiring berjalannya waktu dan meningkatnya gaya hidup manusia, tempat penyimpanan makanan juga mengalami perubahan.
Berawal dari batok kelapa, saat ini kita dengan mudah menemui berbagai model kemasan pangan, baik yang terbuat dari keramik, plastik, aluminium foil, hingga berbahan dasar kertas pun disulap menjadi kemasan yang unik, eye catching, dan multifungsi.
Kenyataannya, tidak semua kemasan pangan ini aman untuk makanan. Terutama kemasan pangan berbahan dasar kertas yang penggunaannya paling banyak di Indonesia, belum semuanya layak. Sebagai contoh, di masyarakat masih banyak ditemukan penggunaan kertas coklat, kertas koran, kertas bekas cetakan, atau kertas daur ulang sebagai kemasan nasi kotak, nasi bungkus, gorengan, dan lain-lain.
Memang, Undang-Undang yang mengatur Kemasan Pangan telah kita miliki, namun pengaturan mengenai jenis kertas yang layak digunakan serta penerapan regulasi di Indonesia sendiri belum detil dan setegas di negara lain, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat maupun Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Uni Eropa contohnya, memiliki regulasi standarisasi European Commission (EC) 1935/2004 untuk kemasan pangan berbahan baku kertas dimana ambang batas parameter senyawa kimia seperti logam berat, ftalat, dan zat berbahaya lainnya, diatur secara spesifik berdasarkan jenis senyawa, tingkat kandungan kertas, serta identifikasi asal muasal dan ambang batas cemaran bahan kertas.
Tidak berbeda dengan Amerika Serikat dalam United States Food and Drug Administration (U.S. FDA) yang mempersyaratkan produsen kertas kemasan pangan untuk menjabarkan daftar semua bahan baku yang digunakan untuk memproduksi kemasan pangan primer. Begitu juga RRC yang penerapannya diatur dalam regulasi standarisasi Guo Biao (GB).
Dr. Lisman Suryanegara peneliti dari Pusat Penelitian Biomaterial LIPI menyatakan kertas bekas dan kertas daur ulang yang beredar di masyarakat mengandung bahan kimia berbahaya seperti logam berat yang terkandung dalam tinta cetak, lilin, dan zat pemutih. Bahkan mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dapat tumbuh dan berkembang subur di kertas bekas. Seluruh bahan berbahaya ini dapat berpindah dari kemasan ke makanan yang terpapar langsung, terlebih lagj jika ada faktor-faktor yang memicu migrasi, seperti suhu makanan yang tinggi, jenis makanan berminyak, jenis bahan kemasan, waktu kontak, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa zat kimia tersebut beresiko menyebabkan berbagai penyakit serius seperti kanker, asma, kerusakan hati, kelenjar getah bening, gangguan sistem endokrin, dan reproduksi, serta mutasi gen.
Setelah diteliti ternyata kertas kemasan coklat memiliki kandungan logam berat yang relatif tinggi serta mikroorganisme dalam jumlah terbanyak dibandingkan jenis kertas lainnya.
Menurut Prof. Dr. Ir. Bambang Prasetya, M.Sc, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), sudah saatnya Indonesia memiliki standar keamanan kemasan pangan kertas yang dapat menjamin kesehatan konsumen sekaligus meningkatkan kualitas produk yang dibuat oleh produsen agar memiliki daya saing di pasar internasional.
Alternatif lainnya, masyarakat dapat menggunakan kemasan pangan berkategori food grade yang 100% terbuat dari serat alami dengan ciri-ciri tampilan berwarna putih bersih, tidak berbintik-bintik, dan tidak tembus minyak. Kemasan ini juga tidak mengandung senyawa berbahaya seperti benzene dan styrene (bahan baku styrofoam), serta bebas dari bakteri. Di samping itu, karton food grade yang berasal dari serat alami ini bersifat ramah lingkungan karena mudah terurai.