Mohon tunggu...
Ega Krisnawati
Ega Krisnawati Mohon Tunggu... Jurnalis - About me

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Atma Jaya Yogyakarta angkatan 2017.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ambisi Manusia Patung, Wisata Kota Tua Jakarta

11 November 2019   17:54 Diperbarui: 11 November 2019   18:00 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deddi sebagai Nelayan Sunda Kelapa (Foto milik Ega Krisnawati)

Deddi sebagai Nelayan Sunda Kelapa (Foto milik Ega Krisnawati)
Deddi sebagai Nelayan Sunda Kelapa (Foto milik Ega Krisnawati)

Manusia patung adalah salah satu profesi seni di Wisata Kota Tua Jakarta Pusat. Profesi yang seringkali dipandang sebelah mata ini, namun hal itu tidak menjadi alasan untuk menyerah.

Jakarta -- Sabtu (9/10) Deddi (39) dan Rizal (37) masih tegap berdiri menjalankan pekerjaannya sebagai manusia patung. Meski matahari terik, Deddi dengan gaya bak Nelayan memberikan pelayanan ramah ke setiap pengunjung yang ingin berfoto dengannya. "Ini, saya jadi Nelayan Sunda Kelapa, makannya bawa jaring ikan". Ujar Deddi.

Nelayan Sunda Kelapa, kerap menjadi mascot Deddi ketika melakukan perkenalan dengan orang yang pertama kali mengajaknya berbicara. Uniknya, dia tidak mengeluarkan suara sedikitpun, melalui gerakan demi gerakan Deddi menjelaskan perannya itu. Tak jarang, Deddi dianggap sebagai seorang pengemis yang berkedong "manusia patung".

Namun, hal itu tidak mengurungkan semangat Deddi dalam menjalankan profesinya. Menurutnya, menjadi manusia patung adalah bagian dari pekerjaan seni, seni untuk menghibur dan wadah untuk merepresentasikan pahlawan Indonesia. Berbekal ingin mewujudkan cita-cita, serta hobinya Deddi mampu bertahan dengan profesi ini, delapan tahun lamanya.

Berbeda dengan Rizal yang berperan sebagai tokoh Army Toysdirinya selalu membawa atribut senapan imitasi, dan topi Army Toys. Rizki menjalankan pekerjaannya itu, sudah hampir sembilan tahun. Seringkali, Rizal menerima olokkan mirip seperti buto ijo karena tubuhnya yang diwarnai dengan cat hijau.

"Iya mba, kadang kalau rombongan yang dateng suka lupa ngasih uang apa bilang terima kasih, gitu" Ujar Rizal.  Rasa kurang dihargai pun kerap kali muncul dibenak Rizal. Mungkin, pengunjung yang datang memang kurang diberikan sosialisasi terhadap para manusia patung, untuk memberikan imbalan berupa uang, setelah berfoto.

Rasa tidak ingin dituntut, dan kemudahan dalam menjalankan pekerjaan sebagai manusia patung menjadi bekalnya sehari-hari untuk bertekun dengan profesi itu. Meski sudah hampir sembilan tahun, Rizal belum pernah mengungkapkan profesi yang sebenarnya ia jalani sebagai manusia patung kepada keluarganya.Rizal takut, jika nanti keluarganya tidak bisa memahami profesinya, dan tidak memperbolehkannya bekerja sebagai manusia patung.

Pendapatan manusia patung, tidak diatur oleh suatu instansi besar, apalagi resmi. Profesi itu, hanya bergantung pada imbalan pengunjung yang mengajaknya berfoto. Tidak hanya itu, kesehatan maupun bahaya lainnya pun tidak ditanggung oleh siapa pun, meski katanya profesi manusia patung memiliki komunitas yang membuatnya diizinkan untuk menjalankan profesinya sebagai manusia patung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun